Blue Print

K E B I J A K A N  S T R A T E G I S

KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KAB. SUMBAWA

Menuju Good Governance

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Terselenggaranya tata kelola pemerintahan yang baik atau “good governance” merupakan ‘impian’sekaligus harapan semua bangsa di dunia. Pandangan tersebut dapat dimengerti karena melalui pelaksanaan good governance, upaya penciptaan aparatur pemerintah yang bersih, bebas dari tindakan yang tidak terpuji serta tidak berpihak pada kepentingan masyarakat diharapkan dapat diwujudkan secara nyata.

Selain itu, pelaksanaan good governance juga akan bersentuhan atau berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan kinerja birokrasipemerintah yang kemudian berujung pada peningkatan kualitas pelayanan publik. Oleh sebab itu, pelaksanaan good governance sudah selayaknya menjadi komitmen semua untuk mewujudkannya. Sudah tidak pada tempatnya jika masih ada sebagian pihak yang ‘berhasrat’ untuk menunda-nundapelaksanaan good governance tersebut, baik di tingkat pusat maupun daerah (lokal). Penundaan atau keterlambatan dalam menterjemahkan konsep good governance secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di lingkungan birokrasi pemerintah, hanya akan menambah beban dan penderitaan bagi masyarakat.

Istilah ‘good governance’ di Indonesia kembali mengemuka atau sejalan dengan merebaknya arus reformasi yang di motori oleh kalangan mahasiswa dan kaum intelektual. Konsep tersebut kemudian merambah keberbagai dimensikehidupan, termasuk di kalangan aparatur negara yang dianggap sebagai ujung tombak dari pelaksanaan pemerintah.

Good governance sering di gunakan sebagai standar sistem good local governance di katakan baik dalam menjalankan sistem disentaralisasi dan sebagai parameter yang lain untuk mengamati praktek demokrasi dalam suatu negara.Para pemegang jabatan publik harus dapat mempertangung jawabkan kepada publik apa yang mereka lakukan baik secara pribadi maupun secara publik.

.           Konsep Good governance pertama kali di perkenalkan oleh  UNDP, sebab munculnya konsep ini di sebabkan oleh tidak terjadinya akuntabilitas, tranparansi. Artinya banyak negara dunia ketiga ketika di beri bantuan dana tersebut banyak yang tidak tepat sasaran, sehinga negara maju engan memberikan bantuan terhadap negara dunia ketiga adalah karena belum terciptanya sistem birokrasi yang efektif, efesien dan tidak adanya tranparansi, akuntabilitas bantuan dana dari negara maju.  Konsekuensinya banyak terjadi korupsi yang  di lakukan oleh dunia ketiga ketika bantuan di turunkan oleh negara maju. Pada akhir dasa-warsa yang lalu, konsep good governance ini lebih dekat di pergunakan dalam reformasi publik. Di dalam disiplin atau profesi manajemen publik konsep ini di pandang sebagai suatu aspek dalam paradigma baru ilmu administrasi publik. Paradigma baru ini menekankan  pada  peran manajer publik agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong dan meningkatkan otonomi manajerial terutama sekali mengurangi campur tangan kontrol yang di lakukan oleh pemerintah pusat, Tanparansi, akuntabilitas publik dan di ciptakan pengelolahan manajerial yang bersih dan bebas dari korupsi. Tata kepermerintahan yang baik )good Governance) merupakan suatu konsep yang akhir-akhir ini di pergunakan secara regule di dalam ilmu politik dan administarsi publik (administarasi negara). Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Berkembanglah kemudian sebuah konsep tata pemerintahan yang diharapkan dapat menjadi solusi untuk berbagai permasalahan tersebut. Konsep itu yaitu Good governance. Governance berbeda dengan government yang artinya pemerintahan. Karena government hanyalah satu bagian dari governance. Bila pemerintahan adalah sebuah infrastruktur, maka governance juga bicara tentang suprastrukturnya. Banyak sekali definisi tentang good governance. Kita ambil satu saja untuk sebagai bahan analisa. Bank Dunia dalam laporannya tentang governance and development tahun 1992 mengartikan good governance sebagai pelayanan publik yang efisien, sistem pengadilan yang dapat diandalkan, pemerintahan yang bertanggungjawab pada publiknya (Bintan R. Saragih). Bergulirnya reformasi membawa angin segar bagi proses demokratisasi di Indonesia. Sebuah rezim yang amat kuat, solid sekaligus juga korup dan sentralistis terpaksa menyudahi perannya sebagai penguasa negeri ini. Berarti terbuka sebuah kesempatan emas untuk memulai proses perbaikan di berbagai bidang. Sebagai catatan saja kondisi kita waktu itu adalah kondisi yang amat terpuruk. Tak hanya di bidang ekonomi saja, tapi juga di bidang hukum, birokrasi dan juga moralitas.

Prinsip Good Governance Dan Clean Governance

Slah sat produk dari organisasi publik adalah memberikan pelayanan publik kepada pengguna. Pelayanan publik dalam negara demokrasi dengan meminjam pendapat Lenvine (1990 : 188) harus memenuhi tiga indikator:

Responsiveness atau responsivitas adalah: daya tanggap penyedia layanan terhadap harapan, keinginan, aspirasi maupun tuntutan pengguna layanan,
Responsibility atau responsibilitas adalah; suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh proses pemberian layanan publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan administrasi dan organisasi yang benar dan telah ditetapkan,
Accountability atau akuntabilitas adalah: suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar proses penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kepentingan stakeholders dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat. Sementara itu sesuai dengan Keputusan Menteri Pemberdayaan Pegawai (Kepmenpan) 81/1995, disebutkan bahwa kinerja organisasi publik dalam memberikan pelayanan harus mengandung beberapa indikator seperti:
Kesederhanaan, yaitu prosedur atau tata cara pelayanan umum harus didesain sedemikian rupa. Sehingga penyelenggaraan pelayanan umum menjadi mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.
Kejelasan dan kepastian tentang tata cara, rincian biaya layanan dan cara pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian layanan, dan unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum.
Keamanan, yaitu usaha untuk memberikan rasa aman dan bebas pada pelanggan dari adanya bahaya, resiko dan keragu-raguan. Proses serta hasil pelayanan umum dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum.
Keterbukaan,yaitu bahwa pelanggan dapat mengetahui seluruh informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan jelas. termasuk informasi tata cara, persyaratan, waktu penyelesaian, biaya dan lain-lain.
Efisiensi,yaitu persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dan produki layanan publik yang diberikan. Disamping itu, juga perlu dicegah adanya pengulangan di dalam pemenuhan kelengkapan persyaratan, yaitu mempersyaratkan kelengkapan syarat dari satuan kerja atau instansi pemerintah lain yang terkait.
Ekonomis,yaitu agar pengenaan biaya pelayanan ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan nilai barang/jasa dan kemampuan pelanggan untuk membayar.
Keadilan yang merata, yaitu cakupan atau jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil.
Ketepatan waktu, yaitu agar pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

            Pelaksananan Prinsip Good Governance Dam Clean Governance Dalam Sistem Pemerintahan Nagara Ketika kita berbicara pelaksanaan tentu banyak muncul persoalan adalah karena antara praktek dengan teori kadangkala tidak sejalan, dalam tataran teorinya bagus tapi ketika dalam pelaksanaan teknis tidak efektif dan efesien.Unsur pertama dalam good governance adalah birokrasi yang efisien. Kita sudah sama-sama mafhum bahwa citra birokrasi di masyarakat terlihat kurang baik. Secara sinis sering dikatakan bahwa motto birokrasi adalah “Kalau bisa dibuat sulit untuk apa dimudahkan”. Birokrasi dikesankan sebagai sebuah rantai yang amat panjang atau pos dari sebuah perjalanan yang panjang. Yang disetiap pos mereka yang berurusan dengan birokrasi harus mau berpayah-payah atau memberi sejumlah pelicin untuk masuik ke pos berikutnya. Istilahnya biasanya uang administrasi.Kita tak bisa menyalahkan masyarakat karena kondisi inilah yang secara empiris dirasakan oleh mereka. Ada uang administrasi untuk membuat KTP, Akte Kelahiran, dan sebagainya. Padahal khittah dari birokrasi adalah adanya pembagian tugas yang jelas untuk memudahkan pelayanan masyarakat. Bukan untuk mempersulit apalagi menghambat masyarakat yang punya urusan.Dalam era otonomi daerah, peran pengambil kebijakan untuk mengontrol berjalannya birokrasi dengan baik amat dimungkinkan. Ini berkait dengan wewenang yang dimiliki daerah seperti memiliki kewenangan mengadakan rekrutmen birokrat (PNS). Era otonomi daearah rembesanya dapat kit rasakan dalam pelaksananan sistem pemerintahan nagari disamping membuka banyak kesempatan untuk kondisi lebih baik juga adalah kesempatan bagi munculnya raja-raja kecil yang amat berkuasa. Raja kecil itu bisa berupa pemerintah daerah, DPRD, partai politik, pengusaha atau bisa jadi pemimpin informal. Yang jelas kekahawatiran munculnya pemimpin informal ini adalah ketika hukum tak mampu menyentuh mereka bahkan berada di tapak kaki mereka. Sumbangan dari compang-campingnya kondisi hukum ini amat besar terhadap keterpurukan bangsa ini. Bagaimana bisa misalnya investasi masuk bila tak ada kepastian hukum, besarnya uang kemanan dan lain-lain. Bagaimana bisa birokrasi  bersih bila setiap pelanggaran tak pernah ditindaklanjuti dan malah menjadi habit. Artinya unsur supremasi hukum menjadi prasyarat bagi unsur yang lain dalam good governance. Ketiga, transparansi dan akuntabilitas. Sudah bukan jamannya lagi penyelenggara negara menjadi menara gading. Ia harus menjadi mitra yang tersentuh masyarakat.

Penyelenggara pemerintahan harus mau untuk dikontrol oleh masyarakat dan masyarakat harus mau peduli terhadap permasalahan pemerintahan. Dalam birokrasi public, peranan pemimpin sangat strategis. Keberhasilan birokrasi publik dalam menjalankan tugas-tugasnya sangat ditentukan oleh kualitas pemimpinnya. Jika diidentifikasi secara umum terdapat beberapa fenomena kepemimpinan pada birokrasi publik. Pertama, pemimpin birokrasi publik dalam menjalankan roda birokrasi pada umumnya belum digerakkan oleh visi dan misi. Akan tetapi, senantiasa masih digerakkan oleh peraturan yang sangat kaku. Akibatnya, pemimpin tidak dapat mengembangkan potensi organisasi, serta tidak mampu menyesuaikan dengan tuntutan lingkungan eksternal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Kedua, pemimpin birokrasi lebih mengandalkan kewenangan formal yang dimilikinya. Kekuasaan menjadi kekuatan dalam menggerakkan bawahan untuk memenuhi berbagai kepentingan pemimpin. Ketiga, rendahnya kompetensi pemimpin birokrasi. Hal ini terlihat dari pola promosi dari birokrasi yang kurang mempertimbangkan kompetensi pejabat yang akan ditempatkan pada suatu jabatan struktural. Promosi dilakukan atas dasar kepangkatan, golongan dan ruang serta hasil penilaian kinerja melalui DP-3.Padahal indikator-indikator seperti ini tidak memiliki basis penilaian yang rasional. Dasar kepangkatan dan golongan hanya diukur dengan indikator formal berupa latar belakang pendidikan dan lama bekerja. Tidak jarang pemimpin lebih melihat pada siapa orang yang akan ditempatkan pada suatu jabatan tertentu daripada memperhatikan bagaimana kababilitas mereka. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah faktor kedekatan dari seorang dengan pemimpinnya. Penilaian yang dilakukan lebih banyak bersifat irrasional. Keempat, lemahnya akuntabilitas pemimpin birokrasi. Tidak adanya tranparansi pertanggungjawaban publik atas apa yang telah dilakukan oleh birokrasi. Seharusnya akuntabilitas ini penting dilakukan agar masyarakat dapat memberikan koreksi dan kontrol terhadap kinerja birokrasi. Demikian juga halnya dengan Sumber Daya Manusia yang ada dalam birokrasi. Dalam hal ini penulis lebih memfokuskan terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS) selaku aparatur penyelengara birokrasi. Keberadaan PNS dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Permasalahan yang terjadi adalah besarnya jumlah PNS dan tingkat pertumbuhan yang tinggi dari tahun ke tahun. Rendahnya kualitas dan ketidaksesuaian kompetensi yang dimiliki menjadi penghalang dalam mewujudkan Good Governance. Namun, apa hendak dikata memang demikian realita yang terjadi. Penempatan PNS tidak didasarkan pada kompetensi yang dimiliki, tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan kedekatan PNS dengan pemimpinnya, sehingga unsur rasionalitas menjadi terabaikan. Karena itu, kondisi birokrasi saat ini ditinjau dari aspek kelembagaannya masih jauh dari kondisi ideal. Kelemahan ini secara akumulatif telah mengakibatkan krisis kepercayaan terhadap birokrasi oleh masyarakat sebagai pengguna jasa layanan. Kecenderungan utama birokrasi lebih mengutamakan pendekatan struktural daripada pendekatan fungsional dalam penyusunan organisasi. Sehingga benturan dan tarik-menarik kewenangan menjadi sulit dihindarkan. Begitu pula dengan besaran organisasi belum mengarah pada proposional akan tugas dan fungsi birokrasi sebagai lembaga pemberi layanan pada masyarakat.

  Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Good Governance Dan Clean Governance Dalam Sistem Pemerintahan Hambatan dalam pelaksanaan Good Governance adalah masih kita rasakan belum terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, Birokrasi yang masih belum efesien, masih membutuhkan waktu yang lama, masih berbelit belit, masih terjadi yang namamya dunsanakisme, ketika  ada hubungan kekerabatan baru pelayanannya berkualitas, tidak terjadi transparancy keuangan , bahkan akuntabilitas masih belum bagus begitu banyak hambatan atau kendalanya adalah di sebabkan oleh mesin birokrasi yang tidak berjalan sesuai dengan relnya.. Karena penerapan  prinsip Fungsionalisasi, spesialisasi dan pembagian tugas, sudah barang tentu menjadi bagian masyarakat suatu institusi tertentu. Prinsip pelayanan yang harus di berikan kepada rakyat atau masyarakat oleh birokrat adalah pelayanan yang bersifat adil, cepat , ramah, korek tanpa diskriminasi dan tanpa pilih kasih. Karena itu, ungkapan yang mengatakan bahwa para pegawai negeri adalah melayani bukan untuk di layani, hendaknya terwujud dalam praktek dan realisasinya dan akan tidak ada artinya kalau hanya pada tataran konsep tanpa di tuangkan ke prakteknya. Dan kita tidak inginkan hanya ungkapan tersebut hanya menjadi slogan tanpa di ikuti makna. Dengan kata lain, teramat penting untuk mengupayakan agar para anggota birokrasi menghindari prilaku yang tidak sesuai dengan perananya selaku abdi negara mayarakat. Dari inilah, “penting di pahami patologi birokrasi yang bersumber dari keprilakuan” . Pemahaman tentang prilaku dalam kaitanya pada birokrasi, mutlak perlu di soroti dari sudut andang etos kerja dan kultur organisasi yang berlaku adalah kultur sosial yang luas.

Pelayanan Di Katakan Baik

Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih dapat di katakan baik apabila sistem pelayanannya yang  baik maka produk pelayanan itu akan berjalan sesuai dengan rel  yang ada. Standar buruk atau baik tata kelola pelayanan yang baik dan bersih sangat di tentukan pemberian  layanan publik yang lebih professional dan efektif, efisien, sederhana, transparan, tepat waktu, responsive dan adaptif, dan sekaligus dapat membangun kualitas individu dalam arti menigkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif  masa depannya. Responsif, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab terhadap mutu layanan yang diberikan,competen tuntutan yang dimiliki, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan layanan. Pelayanan publik (publik services) merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur Negara sebagai abdi masyarakat dan abdi Negara . Pelayanan publik oleh birokrasi publik di maksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kondisi masyarakat saat ini telah berkembang dengan sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan sebuah indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat Penyebabnya ialah pelayanan buruk yang diberikan kepada masyarakat umum. Pelayanan buruk tersebut dikarenakan adanya peraturan yang berlebihan, minimnya transparansi, serta tingkah laku para birokrat yang tidak mendukung untuk menciptakan hukum dan peraturan yang dapat dipatuhi oleh sebagian besar anggota masyarakat (World Bank, 1992). Karena itu maka tak terlalu mengejutkan jika Indonesia dikategorikan sebagai suatu pemerintahan yang buruk (bad governance). Kesulitan reformasi birokrasi disebabkan oleh: warisan sejarah (historical institutionalism) yang melingkupi birokrasi sejak masa kemerdekaan hingga sekarang; kuatnya intervensi politik atas birokrasi; dan melemahnya posisi tawar birokrasi terhadap partai politik.

Pelayan Publik Sebagai Pilar Good Governance

Pelayanan publik (publik services ) oleh birokrasi publik tadi adalah merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur Negara sebagai abdi masyarakat dan abdi Negara. Pelayanan publik oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga Negara ) dari suatu Negara kesejahteraan (welfare state ). Dan sekali lagu tujuan dari good governce sebagai tujuan Primer adalah; mewuhkan pendidikan politik kepada masyrakat (demokrasi) sementara tujuan sekunder dari Good Governance adalah menciptakan sistem pelayanan yang efesien dan efektif, akuntabilitas, tapai yang menjadi perslan sekarang adalah good governance lebh fokus kepada pelayan publik, artinya ketika seseorang berbicra Goog Local Governnace maka yang terbayang di depan matanya adalah elayann yang efektif dan efesien. Pelayanan publik dapat diartikan disini adalah pemberi layanan atau keperluan orang aatau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sementara itu kondisi masyarakat pada saat ini telah terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis , dimana tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan indikasi dari “empowering”  yang dialami oleh masyarakat. Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga Negara, masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan , keinginan aspirasikepada pemerintah, masyarakat semakin kritis dan berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah. Salah satu produk dari organisasi publik adalah memberikan pelayanan publik kepada pengguna. Pelayanan publik dalam negara demokrasi dengan meminjam pendapat Lenvine (1990 : 188) harus memenuhi tiga indikator:

Responsivenessatauresponsivitasadalah: daya tanggap penyedia layanan terhadap harapan, keinginan, aspirasi maupun tuntutan pengguna layanan,
Responsibilityatau responsibilitas adalah; suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh proses pemberian layanan publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan administrasi dan organisasi yang benar dan telah ditetapkan,
Accountability atau akuntabilitas adalah: suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar proses penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kepentingan stakeholders dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat. Sementara itu sesuai dengan Keputusan Menteri Pemberdayaan Pegawai (Kepmenpan) 81/1995, disebutkan bahwa kinerja organisasi publik dalam memberikan pelayanan harus mengandung beberapa indikator
Good governace hanya bermakna bila keberadaannya ditopang oleh lembaga yang melibatkan kepentingan publik. Jenis lembaga tersebut adalah sebagai berikut:

a. Negara

menciptakan kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang stabil
membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan
menyediakan public service yang efektif dan accountable
menegakkan HAM
melindungi lingkungan hidup
mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik

b. Sektor swasta

Menjalankan industri
Menciptakan lapangan kerja
Menyediakan insentif bagi karyawan
Meningkatkan standar kehidupan masyarakat
Memelihara lingkungan hidup
Menaati peraturan
Melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi pada masyarakat
Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM

c. Masyarakat madani

·         Manjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi

·         Mempengaruhi kebijakan

·         Berfungsi sebagai sarana checks and balances pemerintah

·         Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah

·         Mengembangkan SDM

·         Berfungsi sebagai sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat.

Kunci utama memahami  good governance, menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang mendasarinya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini didapat tolok ukur kinerja suatu pemerintah.

Strategi Kementerian Agama Kab. Sumbawadalam Penataan Aparatur dalam Pelaksanaan Good Governance Menuju Pemerintahan Yang Bersih

Untuk mewujudkan pelaksanaan good governance secara konsisten dan sustainable (berkelanjutan) bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi good governance tersebut diarahkan pada upaya penciptaan aparatur yang bersih dan berwibawa. Untuk itu, jajaran birokrasi pemerintahan harus memahami esensi birokrasi itu sendiri dikatkan dengan penciptaan good governance yang dimaksud.

Ada  10 konsep birokrasi yang diterapkan oleh Kementerian Agama  Kab. Sumbawasebagai berikut :

1.      Catalytic Government : Steering rather than rowing. Aparatur dan birokrasi berperan sebagai katalisator, yang tidak harus melaksanakan sendiri pembangunan tapi cukup mengendalikan sumber-sumber yang ada di masyarakat. Dengan demikian aparatur dan birokrasi harus mampu mengoptimalkan penggunaan dana dan daya sesuai dengan kepentingan publik.

2.      Community-owned government : empower communities to solve their own problems, rather than marely deliver service. Aparatur dan birokrasi harus memberdayakan masyarakat dalam pemberian dalam pelayanannya. Organisasi-organisasi kemasyarakatan sepeti koperasi, LSM dan sebagainya, perlu diajak untuk memecahkan permasalahannya sendiri, seperti masalah keamanan, kebersihan, kebutuhan sekolah, pemukiman murah dan lain-lain.

3.      Competitive government : promote and encourrage competition, rather than monopolies”. Aparatur dan birokrasi harus menciptakan persaingan dalam setiap pelayanan. Dengan adanya persaingan maka sektor usaha swasta dan pemerintah bersaing dan terpaksa bekerja secara lebih profesional dan efisien.

4.      Mission-driven government : be driven by mission rather than rules”. Aparatur dan birokrasi harus melakukan aktivitas yang menekankan kepada pencapaianapa yang merupakan “misinya” dari pada menekankan pada peraturan-peraturan. Setiap organisasi diberi kelonggaran untuk menghasilkan sesuatu sesuai dengan misinya.

5.      Result-oriented government : result oriented by funding outcomes rather than inputs. Aparatur dan birokrasihendaknya berorientasi kepada kinerja yang baik. Instansi yang demikian harus diberi kesempatan yang lebih besar dibanding instansi yang kinerjanya kurang.

6.      Cuntomer-driver government : meet the needs of the customer rather than the bureaucracy. Aparatur dan birokrasi harus mengutamakan pemenuhan kebutuhan mayarakat bukan kebutuhan dirinya sendiri.

7.      “ente prising government : concretrate on earning money rather than just speding it. Aparatur birokrasi harus memiliki aparat yang tahu cara yang tepat dengan menghasilkan uang untuk organisainya, disamping pandai menghemat biaya. Dengan demikian para pegawai akan terbiasa hidup hemat.

8.      Anticipatory government : invest in preventing problems rather than curing crises. Aparatur dan birokrasi yang antisipasif. Lebih baik mencegah dari pada memadamkan kebakaran. Lebih baik mencegah epidemi daripada mengobati penyakit. Dengan demikian akan terjadi “mental swich” dalam aparat daerah.

9.      Decentralilazed government : decentralized authority rahter than build hierarcy. Diperlukan desentralisasi dalam pengelolaan pemerintahan, dari berorientasi hirarki menjadi partisipasif dengan pengembangan kerjasama tim. Dengan demikian organisasi bawahan akan lebih leluasa untuk berkreasi dan mengambil inisiatif yang diperlukan.

10.  Market-oriented government : solve problemby influencing market forces  rather than by treating public programs. Aparatur dan birokrasi harus memperhatikan kekuatan pasar. Pasokan didasarkan pada kebutuhan atau permintaan pasar dan bukan sebaliknya. Untuk itu kebijakan harus berdasarkan pada kebutuhan pasar.

BAB II

DIMENSI TATA KELOLA PEMERINTAHAN

( KEMENTERIAN AGAMA PROV NTB )

            Pada tahun 1992, Bank Dunia mendefinisikan tata kelola sebagai berikut:

„Governance is epitomized by predictable, open, and enlightened policymaking (that is, transparent processes); a bureaucracy imbued with a professional ethos; an executive arm of government accountable for its actions; and a strong civil society participating in public affairs; and all behaving under the rule of law”.[1]

            Nuning Akhmadi dkk, 2004 mendefinisikan tata kelola pemerintahan yang baik, dengan merujuk makna good governence dengan pengertian. “Suatu pelayanan publik yang efisien, sebuah sistem peradilan yang dapat dipercaya, dan sebuah sistem pemerintahan yang bertanggung jawab kepada publik.. tata kelola pemerintahan yang baik, bagi Bank Dunia, berkaitan erat dengan manajemen pembangunan yang baik, yang sangat penting untuk membuat dan menciptakan lingkungan yang mendukung berlangsungnya pembangunan yang kuat dan merata, yang merupakan komponen membuat kebijakan ekonomi yang baik”

Sementara itu, dalam makalahnya Nicole Maldonado, dari University of Bonn dalam perpektif ilmu Hukum mengemukakan:

Good governance in the World Bank’s perception comprises certain political and civil human rights, as freedom of expression, freedom of the press, freedom of assembly, freedom of information, and participation in political decision-making processes. However, for the World Bank human rights are not an independent component of good governance. Human rights issues arise throughout the whole good governance agenda. In that sense, human rights constitute a cross-cutting topic, like the issues of corruption and participation

Penerapan Good Governance oleh Kementerian Agama  Kab. Sumbawaberdasarkan basis Agama Yaitu Basis Fikih  yang dapat digambarkan sebagai berikut :

Fikih Tata Kelola Pemerintahan (FTKP), bisa diartikan sebagai pencarian dan peletakan dasar dasar fiqiyah, bagaimana kepemerintahan yang baik, bisa dilaksanakan sesuai teks dasar, dan kultur Islam dalam konteks Indonesia.  Dengan mengacu pada beberapa pengertian diatas, dapat diasumsikan bahwa fiqih tata kelola pemerintahan ialah bagaimana menyusun teks teks dasar quraniyah dan dasar hadist kultur kenabian dan kemudian meletakkan dasar dasar bagi pelaksanaan empat pilar tata kelola pemerintahan.

            Dalam kaidah yang telah dipakai selama ini, terdapat nilai nilai umum berbasis nilai qurani yaitu Al Musyawah, Al ‘Adalah, As Syura dan Al Maslachah. Para aktivis Islam dan para pemimpin telah mengklaim bahwa sangat  banyak nilai nilai Islam yang compatible dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Bahkan sejarah kehidupan kepemerintahan Rasulullah selalu dipakai rujukan untuk meyakinkan bahwa sangat erat hubungan antara nilai nilai tata kelola pemerintahan yang baik dengan fikih Islam.

Sedangkan dalam konteks kelembagaan dan aktor pemimpina dan akademisi Islam telah melakukannya lewat kadernya di berbagai sektor dan level, melalui lembaga amal usaha dan gerakan pemikiran, melalui jalur politik dan media massa dan melalui sumbangan nilai serta melalui tajdid yang terus menerus memberi inspirasi pelaksanaan tata kelola pemerintahan.

Ikhtiar untuk menyusun fikih ini tidak pernah berhenti. Secara lebih teknis, fiqih tata kelola pemerintahan selalu berhubungan dengan

1.      Proses pengangkatan, pemilihan para akademisi terkemuka yang berisi kumpulan ahli di bidang politik, hukum, ekonomi dan pemerintahan dengan jalan mengumpulkan dan mengkompilasi dasar dasar fiqiyah tentang hal hal yang berkaitan dengan 4 elemen dasar tata kelola pemerintahan. Kompilasi fikih tata kelola pemerintahan berdasarkan Islam Indonesia itu bisa digambarkan dengan keadaan dimana nilai niai dasar Islam tentang tata kelopa pemerintahan bisa dipurifikasi sekaligus dikembangkan secara metodologis, dilambangkan dengan kalimat pendek setelah melalui uji akademik yang terbuka,  dengan dasar yang kuat, dapat ditransformasikan secara internal dan mondial.

2.      Kodifikasi dari hasil hasil pemikiran tentang elemen tata kelola pemerintahan setelah melalui pengujian umum dan verifikasi dari ahli ahli dari kelompok lain atau kelompok luar agar kodifikasi tersebut tidak parochial atau sepihak. Dalam kaitan ini sesungguhnya dapat diamati bahwa kodifikasi nanti tidaklah bisa mandiri terutama apabila nilai nilai baru hasil tajdid ini akan diaplikasikan di Indonesia yang plural dan modern.

3.      Fase selanjutnya ialah tahap ransformasi gagasan ke dalam sistem atau sub sistem pemerintahan umum dimana ummat Islam pada suatu pihak adalah agent of change dan dilain pihak adalah bagian dari “orang orang yang diperintah”.  Dalam konteks kekinian, pencarian dasar fiqiyah dan peletakan tata kelola pemerintahan yang baik adalah salah soal penting, yang oleh ummat islam terus dilakukan. Pada tahapan implementasinya selalu menjadi tantangan. Salah satu sumbangan terbesar dalam pemikiran keagamaan ialah transformasi penyatuan iman dan amal dalam bentuk keberagamaan bil hal seperti ibadah sosial, pelembagaan amal saleh tidak melalui shalat dan rukun Islam mahdhoh saja. Tidak hanya membangun masjid atau mushalla, tetapi tempat pendidikan dan rumah sakit.

BAB III

KONSEP PELAYANAN PRIMA

KEMENTERIAN AGAMA  KAB. SUMBAWA

Tuntutan masyarakat pada era ini  terhadap pelayanan  publik yang berkualitas akan semakin menguat. Oleh karena itu,  kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan di atas sehingga mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dari sisi mikro, hal-hal yang diupayakan Kementerian Agama Kab. Sumbawauntuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1.      Penetapan Standar Pelayanan

2.      Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP). Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan  secara konsisten diperlukan adanya  Standard Operating Procedures.  Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang  dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan  sesuai dengan acuan  yang  jelas, sehingga dapat berjalan secara  konsisten

Disamping itu SOP juga bermanfaat dalam hal:

·         Untuk memastikan bahwa proses dapat berjalan unintertcpted. Jika   terjadi hal-hal tertentu, misalkan petugas yang diberi  tugas menangani satu proses tertentu berhalangan hadir,  maka petugas lain dapat menggantikannya.  Oleh karena itu proses pelayanan dapat berjalan terus;

·         Untuk memastikan bahwa pelayanan dapat berjalan sesuai   dengan peraturan yang berlaku;

·         Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap kesalahan prosedur jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan;

·         Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam prosedur pelayanan;

·         Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian pelayanan;

·         Memberikan informasi yang jelas mengenai togas dan kewenangan yang akan diserahkan kepada petugas tertentu yang  akan menangani satu proses pelayanan tertentu. Atau dengan kata lain, bahwa semua petugas yang terlibat dalam proses  pelayanan memiliki uraian tugas dan tangungjawab yang jelas;

3.      Pengembangan Survey Kepuasan Masyarakat , Untuk menjagaa kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan snafu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep  manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila  produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayananmemenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karma itu,  survey kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik;

4.      Pengembangan Sistem Laporan Masyarakat dan Keluhan ; Laporan Masyarakat merupakan satu somber informasi bagi upayaupaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan standar  yang telah ditetapkan.  Oleh karma itu perlu didisain nafsu sistem pengelolaan pengaduan yang secara dapat efektif dan efisien mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan  masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan;

BAB IV

KONSEP PENGELOLAAN KEUANGAN

KEMENTERIAN AGAMA  KAB. SUMBAWA (MANAJEMEN APBN)

A.    Pelaksanaan APBN Kanwil Kementerian Agama  Kab. Sumbawa

1.      Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Negara

Setiap satuan kerja yang mempunyai sumber pendapatan wajib mengintensifkan perolehan pendapatan yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya. Penerimaan harus disetor seluruhnya ke kas negara pada waktunya yang selanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah.

Penerimaan satuan kerja tidak boleh digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran. Penerimaan berupa komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang oleh negara adalah hak negara sehingga harus disetor seluruhnya ke kas negara.

2.      Pelaksanaan Anggaran  Belanja Negara

Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran melaksanakan kegiatan sebagaimana tersebut dalam dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan. Untuk keperluan pelaksanaan kegiatan sebagaimana tersebut dalam dokumen pelaksanaan anggaran, Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran berwenang mengadakan ikatan/perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran berhak untuk menguji, membebankan pada mata anggaran yang telah disediakan, dan memerintahkan pembayaran tagihan-tagihan atas beban APBN.

Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran berwenang:

a.       Menguji kebenaran material surat-surat bukti mengenai hak pihak penagih;

b.      Meneliti kebenaran dokumen yang menjadi persyaratan atau

c.       Kelengkapan sehubungan dengan ikatan /perjanjian pengadaan Barang/jasa;

d.      Meneliti tersedianya dana yang bersangkutan;

e.       Membebankan pengeluaran sesuai dengan mata anggaran Pengeluaran yang bersangkutan; dan

f.       Memerintahkan pembayaran atas beban APBN.

Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti yang dimaksud. Pembayaran atas tagihan yang menjadi beban APBN dilakukan oleh Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara UmumNegara.

Dalam rangka pelaksanaan pembayaran, Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara memiliki kewajiban sebagai berikut:

a.       Meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran,

b.      Menguji kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBN yang tercantum dalam perintah pembayaran,

c.       Menguji ketersediaan dana yang bersangkutan,

d.      Memerintahkan pencairan dana sebagai dasar pengeluaran negara,

e.       Menolak pencairan dana, apabila perintah pembayaran yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Pembayaran atas beban APBN tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas kementerian negara/lembaga, kepada Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran dapat diberikan uang persediaan (UP) yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran. Bendahara Pengeluaran melaksanakan pembayaran dari uang persediaan yang dikelolanya setelah:

Meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
Menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam perintah pembayaran; dan
Menguji ketersediaan dana yang bersangkutan.

Bendahara Pengeluaran wajib menolak perintah bayar dari Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran apabila persyaratan tersebut di atas tidak dipenuhi. Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara pribadi atas pembayaran yang dilaksanakannya. Pengecualian dari ketentuan dimaksud diatur dalam peraturan pemerintah.

A.                Dalam pelaksanaan APBN, setelah APBN ditetapkan dengan Undang-undang, dibuat petunjuk berupa keputusan presiden (kepres) sebagai Pedoman Pelaksanaan APBN. Dalam melaksanakan pembayaran, kepala kantor/pemimpin proyek di masing-masing kementerian dan lembaga mengajukan Surat Permintaan Pembayaran kepada Kantor Wilayah Perbendaharaan Negara (KPPN).

Pengeluaran anggaran belanja negara harus didasarkan pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA)/Dokumen sejenis lainnya, serta berdasarkan Surat Perintah Membayar (SPM), Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) atau tanda bukti pembayaran lainnya yang sah.

B.     Pengawasan Pelaksanaan APBN

Pengawasan dalam rangka pelaksanaan APBN dilakukan secara berjenjang. Ditinjau dari struktur pengelolaan anggaran,pengawasan diawali dari Pejabat Penguji dan Perintah Pembayaran, Bendaharawan Pengeluaran, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Ditinjau dari struktur organisasi, bahwa setiap pemimpin unit kerja  pada level manapun mempunyai fungsi manajerial, yang antara lain melakukanj pengawasan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan oleh anggota organisasi.  Pengawasan terdiri dari beberapa jenis, sebagai berikut:

1.      Pengawasan Fungsional,

a.       Pengawasan Fungsional internal instansi, dilakukan oleh Inspektorat Jenderal untuk Kementerian, dan oleh Inspektorat untuk Non Kementerian (LPND). Pengawasan dilakukan untuk mengawasi pelaksanaan APBN dan kegiatan yang didekonsentrasikan;

Pengawasn fungsional ekstern instansi/intern pemerintah, dilakukan oleh BPKP, namun dengan tertibnya PP No.60/2006, BPKP  melaksanakan fungsi pengendalian terhadap pelaksanaan APBN oleh Kemenetrian dan LPND;
Pengawasan fungsional intern  Provinsi, dilaksanakan oleh Irjen  untuk mengawasi pelaksanaan APBN. Sedangkan pelaksanaan tugas dekosentrasi pengawasan dilakukan oleh oleh Inspektorat Jenderal masing-masing kementerian/LPND;
Pengawasan fungsional intern   Kabupaten/Kota; dilakukan oleh Irjen Kemenag RI , maupun oleh BPK dan BPKP  untuk pelaksanaan APBN, Sedangkan pelaksanaan tugas dekosentrasi pengawasan dilakukan oleh oleh Inspektorat Jenderal masing-masing kementerian/LPND;
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, pengawasan dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Dalam Negeri.

2.      Pengawasan Eksternal Pemerintah

Pasal 2 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara, menjelaskan bahwa BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan anggaran yang dilaksanakan oleh Kementrian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, BUMN/BUMD.  Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, meliputi:

Pemeriksaan Keuangan: yaitu pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) maupun Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Pemeriksaan ini bertujuan untuk memberikan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah.
Pemeriksaan Kinerja: yaitu pemeriksaan atas efisiensi serta efektifitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan manajemen. Secara khusus pemeriksaan ini bertujuan untuk: Mengidentifikasi hal-hal yang perlu menjadi perhatian lembaga legislatif, dan bagi eksekutif bertujuan agar kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis, efisien dan efektif.
i.      Pemeriksaan dengan tujuan tertentu: adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus diluar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja.

3.      Pengawasan Politik

Sesuai dengan fungsinya DPR/DPR melakukan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Pengawasan yang dimaksud adalah pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai kebijakan yang telah diputuskan oleh DPR/DPRD

4.      Pengawasan Yudikatif, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh lembaga yudikatif.

5.      Pengawasan yang dilakukan oleh Masyarakat (WASMAS), terhadap pemerintah dalam melaksanakan berbagai kegiatan pemerintahan maupun pembangunan;

Disamping   berbagai  jenis pengawasan  sebagaimana tersebut di atas, sebagai upaya dalam mengurangi berbagai penyimpangan dan pemborosan, juga dilakukan kegiatan pengawasan sebagai berikut :

1.      Pengawasan Preventif

Dilaksanakan untuk mencegah terjadinya kesalahan dan penyimpangan dalam pelaksanaan tugas, atau kesalahan dan penyimpangan dalam  prosedur yang harus ditempuh. Yang menjadi instrumen  pengawasan adalah:

a.       UU APBN

b.      Keppres Pelaksanaan APBN

c.       DIPA

d.      Limit penyimpangan uang bagi bendaharawan

e.       Larangan pembayaran oleh bank kepada  bendaharawan atas saldo bendaharawan bersangkutan pada bank tersebut.

2.      Pengawasan Represif

Dilakukan dengan membandingkan apa yang terjadi dengan apa yang seharusnya terjadi.

3.      Pengawasan Dari Jauh (Pengawasan Pasif)

Pengujian dan penelitian terhadap Surat Pertanggungjawaban (SPJ) beserta bukti pendukung. Pemeriksaan ini hanya meninjau dari segi formalnya tanpa diteliti segi materialnya.

4.      Pengawasan Dari Dekat (Pengawasan Aktif)

Pengawasan di tempat kejadian transaksi secara langsung terhadap pelaksanaan adminstrasi sebagai bukti kelengkapan SPJ yang telah dikirimkan.

5.      Pemeriksaan Kebenaran Formal Menurut Hak

Dilakukan terhadap transaksi yang mengakibatkan pembayaran atau tagihan kepada negara, dengan memperhatikan jangka waktu, dasar hukum, dan keabsahan dokumen.

6.      Pemeriksaan Kebenaran Material Mengenai Maksud dan Tujuan

Pengeluaran dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemborosan dengan meperhatikan kebutuhan barang dan dana yang dianggarkan.

C.    Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN

Sebagai upaya konkrit dalam mewujudkan azas keterbukaan,  transparasi, dan akuntabilitas APBN, Presiden, Menteri Keuangan, Menteri/Pimpinan Lembaga, Gubernur/Bupati/Walikota selaku PA bertanggungjawab atas pelaksanaan APBN.

Laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN, terdiri dari
Laporan realisasi anggaran,
Neraca,
Laporan arus kas,
Catatan atas laporan keuangan yang disusun dengan SAP.
Laporan keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah selama 1 (satu) periode.
D.    Model Pencairan Dana

Model pencairan dana terdiri dari 2 model, yaitu: Model Pencairan Dana Uang Persediaan (UP) dan Model Pencairan Dana Langsung (LS). Adapun penjelasannya adalah sebagaimana berikut:

Model Pencairan Dana Uang Persediaan (UP)
1)      Uang Persediaan adalah sejumlah uang yang disediakan untuk Satuan Kerja dalam melaksanakan kegiatan operasional sehari-hari.

2)      Pengajuan Dana Uang Persediaan melalui Surat Perintah Membayar yang terdiri dari:

                                                              i.      Surat Perintah Membayar Uang Persediaan (SPM-UP) adalah Surat Perintah Membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa pengguna Anggaran, yang dananya dipergunakan sebagai uang persediaan untuk membiayai kegiatan operasional kantor sehari-hari

                                                            ii.      Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan (SPM-GU) adalah Surat Perintah Membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa pengguna Anggaran dengan membebani DIPA, yang dananya dipergunakan untuk menggantikan uang persediaan yang telah dipakai

                                                          iii.      Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan (SPM-TU) adalah Surat Perintah Membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa pengguna Anggaran karena kebutuhan dananya melebihi dari pagu uang persediaan yang ditetapkan.

3)      Pembayaran perdasarkan Surat Permintaan Membayar tersebut di atas dilakukan dengan penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) oleh KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara

Model Pencairan Dana Uang Langsung (LS)
1)      Pencairan Dana Uang Langsung dilakukan melalui Surat Perintah Membayar Langsung (SPM-LS) yang merupakan surat yang dikeluarkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggara kepada pihak ketiga (rekanan) atas dasar perjanjian kontrak kerja (Surat Perintah Kerja) atau pembayaran yang sejenisnya.

2)      Pembayaran perdasarkan Surat Permintaan Membayar tersebut di atas dilakukan dengan penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) oleh KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara.

1.          Syarat Administrasi Pembebanan Anggaran

a.      Syarat Administrasi Pembebanan Anggaran Melalui SPM-LS

a)      Untuk belanja pegawai dilengkapi dengan:

·         Daftar gaji/gaji susulan/kekurangan gaji/lembur/honor dan vakasi

·         Surat Setoran Pajak (SPP) untuk Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang telah ditandatangani oleh Pejabat Penandatangan SPM

b)      Untuk belanja lainnya di luar belanja pegawai dilengkapi dengan:

·         Kontrak/SPK pengadaan barang/jasa

·         Surat pernyataan kepala kantor/satuan kerja atau pejabat lain yang ditunjuk mengenai penetapan rekanan pemenang

·         Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan/Berita Acara Serah Terima Pekerjaan dan Berita Acara Pemeriksaan Penyelesaian Hasil Pekerjaan

·         Kuitansi yang disetujui kepala kantor/satuan kerja sebagai PA/Kuasa PA atau pejabat lain yang ditunjuk

·         Faktur pajak beserta SSP-nya yang telah ditandatangani oleh Pejabat Penandatangan SPM dan Wajib Pajak

·         Jaminan Bank

b.      Syarat Administrasi Pembebanan Anggaran melalui SPM-GU

1)      Bukti asli pembayaran yang sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku

2)      Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud

2.          Prosedur Pengajuan Surat Permintaan Pembayaran (SPP): UP dan LS

a.       Dasar pengajuan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) UP dan LS adalah pelaksanaan kegiatan yang harus dilakukan secara tertib dan memenuhi ketentuan yang diperjanjikan baik dalam spesifikasi teknis maupun dalam jadual/waktu penyelesaian.

b.      Pada setiap setiap penyelesaian pekerjaan perlu dilakukan pemeriksaan. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam suatu dokumen Berita Acara Hasil Pemeriksaan Penyelesaian Pekerjaan

c.       Berita Acara Hasil Penyelesaian Pekerjaan harus memuat sekurang-kurangnya identitas pekerjaan (yang meliputi kantor/satuan kerja pengelola pekerjaan, nomor dan tanggal kontrak kerja, tempat/lokasi pekerjaan, besar nilai kontrak, nomor dan tanggal DIPA yang menjadi dasar pembuatan dan/atau ditunjuk dalam kontrak), tahap penyelesaian pekerjaan (termin), pernyataan kesaksian atas prestasi kerja yang telah diselesaikan, dan rekomendasi pembayaran hak/tagihan atas penyelesaian pekerjaan

d.      Berita Acara dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap 5 (lima) dan disampaikan kepada para pihak yang melakukan kontrak (masing-masing satu berkas), dua berkas (asli dan tindasan) kepada penerbit SPM (sebagai lampiran Surat Permintaan Pembayaran), dan satu berkas untuk disimpan oleh pejabat pelaksana pemeriksaan pekerjaan yang bersangkutan

e.       Berdasarkan Berita Acara Hasil Pemeriksaan Penyelesaian Pekerjaan, pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan segera membuat dan menyampaikan SPP kepada PA/Kuasa PA (Selaku Pemberi Kerja) untuk selanjutnya diteruskan kepada Pejabat Penerbit SPM berkenan. SPP sekurang-kurangnya harus memuat:

1)         Nomor dan Tanggal DIPA yang dibebankan

2)         Nomor dan Tanggal Kontrak

3)         Nilai Kontrak

4)         Jenis/lingkup Pekerjaan

5)         Jadual Penyelesaian Pekerjaan

6)         Nilai Pembayaran yang diminta

7)         Identitas penerima pembayaran (nama orang/perusahaan, alamat, nomor rekening, nama bank)

f.       SPP dilengkapi dengan asli dokumen kontrak, kuitansi yang diisi dengan nilai pembayaran yang diminta, dan asli Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan dan Berita Acara Pemeriksaan Hasil Pekerjaan

3.          Prosedur Penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM): UP dan LS

Setelah menerima SPP, Pejabat Penerbit SPM melakukan kegiatan penerbitan SPM melalui mekanisme sebagai berikut:

Penerimaan dan Pengujian SPP
Petugas penerima SPP memeriksa kelengkapan berkas SPP, mengisi check-list kelengkapan berkas SPP, mencatatnya dalam buku pengawasan penerimaan SPP kemudian menyerahkan tanda terima SPP berkenan. Selanjutnya, petugas penerima SPP menyampaikan SPP dimaksud kepada Pejabat Penguji SPP untuk melakukan pengujian sebagai berikut:

1)      Memeriksa secara rinci keabsahan dokumen pendukung SPP sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku

2)      Memeriksa ketersediaan pagu anggaran dalam DIPA untuk memperoleh keyakinan bahwa tagihan tidak melampaui batas pagu anggaran

3)      Memeriksa kesesuaian rencana kerja dan/atau kelayakan hasil kerja yang dicapai dengan indikator kinerja

4)      Memeriksa kebenaran atas hak tagih yang menyangkut antara lain:

a)      Pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran (nama orang/perusahaan, alamat, nomor rekening dan nama bank)

b)      Nilai tagihan yang harus dibayar (kesesuaian dan/atau kelayakannya dengan prestasi kerja yang dicapai sesuai spesifikasi teknis yang tercantum dalam kontrak berkenaan), dan

c)      Jadual waktu pembayaran (kesesuaian dengan jadual penarikan dana yang tercantum dalam DIPA dan/atau ketepatannya terhadap jadual waktu pembayaran guna meyakinkan bahwa tagihan yang harus dibayar belum daluarsa)

5)      Memeriksa pencapaian tujuan dan/.atau sasaran kegiatan sesuai dengan indikator kinerja yang tercantum dalam DIPA berkenan dan/atau spesifikasi teknis yang telah ditetapkan dalam kontrak

Penetapan SPM
Setelah melakukan pengujian SPP, SPM diterbitkan sekurang-kurangnya dalam rangkap 3 (tiga) dengan ketentuan:

1)      Lembar kesatu dan lembar kedua disampaikan kepada KPPN pembayar, dan

2)      Lembar ketiga sebagai pertinggal pada kantor/satuan kerja yang bersangkutan

SPM yang diterbitkan dinyatakan sah apabila ditandatangani oleh pejabat yang diberi kewenangan. Instansi penerbit SPM harus menyampaikannya kepada KPPN, nama, spesimen tanda tangan pejabat yang diberi kewenangan untuk menandatangani SPM, dan cap dinas instansi penerbit SPM.

Penerbitan SPM-LS

1)      SPM-LS disampaikan oleh PA/Kuasa PA disertai dengan bukti pengeluaran yang sah

2)      SPM-LS dibuat atas beban MAK yang tersedia kreditnya pada DIPA atau dokumen pelaksanaan anggaran lainnya dipersamakan dengan DIPA bersangkutan

3)      Semua bukti pengeluaran harus terlebih dahulu disetujui/ditandatangani oleh kepala Kantor/satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk. Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN bertanggung jawab sepenuhnya atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud

4)      PA/Kuasa PA, dalam menerbitkan SPM-LS harus memperhitungkan pajak-pajak yang timbul dan/atau harus dibayar sebagai akibat pengeluaran yang dilakukan

5)      Pada SPM-LS dilampirkan bukti asli yang sah dalam rangkap dua (asli dan tindasan) sesuai dengan peruntukan pembayaran, antara lain

a)      Untuk belanja pegawai dilengkapi dengan:

·         Daftar gaji/gaji susulan/kekurangan gaji/lembur/honor dan vakasi

·         Surat Setoran Pajak (SPP) untuk Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang telah ditandatangani oleh Pejabat Penandatangan SPM

b)      Untuk belanja lainnya di luar belanja pegawai dilengkapi dengan:

·           Kontrak/SPK pengadaan barang/jasa

·           Surat pernyataan kepala kantor/satuan kerja atau pejabat lain yang ditunjuk mengenai penetapan rekanan pemenang

·           Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan/Berita Acara Serah Terima Pekerjaan dan Berita Acara Pemeriksaan Penyelesaian Hasil Pekerjaan

·           Kuitansi yang disetujui kepala kantor/satuan kerja sebagai PA/Kuasa PA atau pejabat lain yang ditunjuk

·           Faktur pajak beserta SSP-nya yang telah ditandatangani oleh Pejabat Penandatangan SPM dan Wajib Pajak

·           Jaminan Bank

Penerbitan SPM-UP

1)      PA/Kuasa PA menerbitkan SPM-UP berdasarkan alokasi dana dalam DIPA atau dokumen pelaksanaan anggaran lainnya yang dipersamakan dengan DIPA atas permintaan dari Bendahara Pengeluaran yang dibebankan pada Mata Anggaran Keluaran (MAK) untuk pengeluaran transito

2)

BAB V

K E B I J A K A N  S T R A T E G I S

a.      Latar Belakang

Kantor Kementerian Agama Kab. Sumbawamerupakan perpanjangan tangan dari Kementerian Agama RI, mempunyai tugas membantu Menteri Agama dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan dibidang keagamaan di Kabupaten Sumbawa. Dalam menyelenggarakan sebagian tugas tersebut salah satu kewenangannya adalah penyusunan rencana strategis yang mengacu kepada kebijakan Kementerian Agama RI dan Pemerintah Daerah  Kab. Sumbawa. Sebagai  lembaga instansi vertikal dalam menjalankan regulasi kebijakan diperlukan kerangka kerja sebagai konsekuensi pelaksanaan tugasnya. Dalam melaksanakan tugas dimaksud memiliki fungsi:

·         Perumusan Visi,misi dan kebijakan teknis dibidang pelayanan dan bimbingan kehidupan beragama kepada masyarakat di  Kab. Sumbawa;

·         Pembinaan, Pelayanan dan bimbingan, masyarakat islam, pelayanan haji dan umrah, pengembangan zakat dan wakaf, pendidikan agama dan keagamaan, pondok pesantren, pendidikan agama Islam pada masyarakat dan pemberdayaan masjid, serta urusan agama, pendidikan agama,  sesuai peraturan perundang undangan;

·         Perumusan kebijakan teknis di bidang pengelolaan administrasi dan informasi;

·         Pembinaan kerukunan umat beragama;

·         Pengkoordinasian perencanaan, pengendalian, dan pengawasan program;

·         Pelaksanaan hubungan dengan pemerintah daerah, instansi terkait dan lembaga masyarakat dalam rangka pelaksanaan tugas di  Kab. Sumbawa. Pembangunan agama di Kabupaten Sumbawa   diarahkan pada upaya memantapkan fungsi dan peran agama sebagai landasan moral dan etika, pembinaan akhlak mulia, dan orientasi serta motivasi yang menjadi daya dorong dalam upaya mewujudkan masyarakat Kabupaten Sumbawa  yang religius, aman, damai dan sejahtera. Selain itu, pembangunan agama juga memiliki peran strategis dalam upaya mendukung terwujudnya masyarakat Sumbawa  yang memiliki kesadaran tinggi terhadap realitas multikultural dan memahami serta menghayati makna kemajemukan sosial, sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, harmonis, dan memiliki komitmen yang kuat terhadap agama. Selain itu diarahkan pada upaya peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan melalui : Pemerataan pendidikan, Peningkatan Mutu Pendidikan dan peningkatan sarana dan prasarana pendidikan

b.      Tujuan

Tujuan jangka panjang pembangunan bidang agama yang hendak dicapai oleh Kementerian Agama Sumbawa   adalah terwujudnya masyarakat  Kab. Sumbawa yang taat beragama, maju, sejahtera, dan cerdas serta saling menghormati antar pemeluk agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

c.       Strategi

Beberapa kebijakan yang ditempuh oleh Kantor Kementerian Agama  Kab. Sumbawa,  guna mendukung pelaksanaan program, sebagai berikut :

1.      Meningkatkan pelayanan yang prima bagi kehidupan umat beragama melalui penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan kualitas SDM profesional dan berbudaya, sehingga tercipta pelayanan kehidupan beragama dengan baik;

2.      Meningkatkan pelayanan penghayatan moral dan etika keagamaan melalui pemberdayaan lembaga kegamaan, rumah ibadah, media dakwah dan para penyuluh agama;

3.      Meningkatkan kerukunan hidup umat beragama melalui pemberdayaan lembaga Agama dan pemberdayaan pranata keagamaan serta pengintensifan dialog keagamaan antar pemeluk agama, intern pemeluk agama dan antar pemeluk agama dengan pemerintah;

4.      Meningkatkan mutu pendidikan agama dan keagamaan melalui optimalisasi lembaga pendidikan formal, non formal dan informal pada masing-masing agama, sehingga out put pendidikan mampu bersaing dengan lembaga pendidikan sejenis lainnya guna memenuhi tuntutan masyarakat dan dunia kerja;

5.      Meningkatkan pelayanan dan penyelenggaraan ibadah haji menuju haji mandiri;

6.      Meningkatkan mutu pelayanan publik dan peningkatan kualitas tata kelola kepemerintahan yang baik yang melalui peningkatan mutu aparatur guna menciptakan pelayanan yang prima terhadap masyarakat

7.      Meningkatkan mutu pelayanan publik dan peningkatan kualitas tata kelola kepemerintahan yang baik yang melalui peningkatan mutu aparatur guna menciptakan pelayanan yang prima terhadap masyarakat;

8.      Untuk mewujudkan pelaksanaan good governance secara konsisten dan sustainable (berkelanjutan) bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi good governance tersebut diarahkan pada upaya penciptaan aparatur yang bersih dan berwibawa. Untuk itu, jajaran birokrasi pemerintahan harus memahami esensi birokrasi itu sendiri dikatkan dengan penciptaan good governance yang dimaksud.

Ada  10 konsep birokrasi yang diterapkan oleh Kementerian Agama  Kab. Sumbawa  sebagai berikut :

1.         Catalytic Government : Steering rather than rowing. Aparatur dan birokrasi berperan sebagai katalisator, yang tidak harus melaksanakan sendiri pembangunan tapi cukup mengendalikan sumber-sumber yang ada di masyarakat. Dengan demikian aparatur dan birokrasi harus mampu mengoptimalkan penggunaan dana dan daya sesuai dengan kepentingan publik.

2.         Community-owned government : empower communities to solve their own problems, rather than marely deliver service. Aparatur dan birokrasi harus memberdayakan masyarakat dalam pemberian dalam pelayanannya. Organisasi-organisasi kemasyarakatan sepeti koperasi, LSM dan sebagainya, perlu diajak untuk memecahkan permasalahannya sendiri, seperti masalah keamanan, kebersihan, kebutuhan sekolah, pemukiman murah dan lain-lain.

3.         Competitive government : promote and encourrage competition, rather than monopolies”. Aparatur dan birokrasi harus menciptakan persaingan dalam setiap pelayanan. Dengan adanya persaingan maka sektor usaha swasta dan pemerintah bersaing dan terpaksa bekerja secara lebih profesional dan efisien.

4.         Mission-driven government : be driven by mission rather than rules”. Aparatur dan birokrasi harus melakukan aktivitas yang menekankan kepada pencapaianapa yang merupakan “misinya” dari pada menekankan pada peraturan-peraturan. Setiap organisasi diberi kelonggaran untuk menghasilkan sesuatu sesuai dengan misinya.

5.         Result-oriented government : result oriented by funding outcomes rather than inputs. Aparatur dan birokrasihendaknya berorientasi kepada kinerja yang baik. Instansi yang demikian harus diberi kesempatan yang lebih besar dibanding instansi yang kinerjanya kurang.

6.         Cuntomer-driver government : meet the needs of the customer rather than the bureaucracy. Aparatur dan birokrasi harus mengutamakan pemenuhan kebutuhan mayarakat bukan kebutuhan dirinya sendiri.

7.         “ente prising government : concretrate on earning money rather than just speding it. Aparatur birokrasi harus memiliki aparat yang tahu cara yang tepat dengan menghasilkan uang untuk organisainya, disamping pandai menghemat biaya. Dengan demikian para pegawai akan terbiasa hidup hemat.

8.         Anticipatory government : invest in preventing problems rather than curing crises. Aparatur dan birokrasi yang antisipasif. Lebih baik mencegah dari pada memadamkan kebakaran. Lebih baik mencegah epidemi daripada mengobati penyakit. Dengan demikian akan terjadi “mental swich” dalam aparat daerah.

9.         Decentralilazed government : decentralized authority rahter than build hierarcy. Diperlukan desentralisasi dalam pengelolaan pemerintahan, dari berorientasi hirarki menjadi partisipasif dengan pengembangan kerjasama tim. Dengan demikian organisasi bawahan akan lebih leluasa untuk berkreasi dan mengambil inisiatif yang diperlukan.

10.     Market-oriented government : solve problemby influencing market forces  rather than by treating public programs. Aparatur dan birokrasi harus memperhatikan kekuatan pasar. Pasokan didasarkan pada kebutuhan   dan bukan sebaliknya. Untuk itu kebijakan harus berdasarkan pada kebutuhan

d.      Program Utama  Penyelenggaraan Pemerintah  Bidang Agama

a.       Dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya kementerian agama dan FKUB di sumbawa

b.      Peningkatan sarana dan prasarana aparatur negara kementerian agama di sumbawa besar

c.       Pengawasan dan peningkatan akuntabilitas aparatur kementerian agama di sumbawa besar

d.      Penyelenggaraan ibadah haji dan umrah di sumbawa

e.       Peningkatan kualitas pendidikan islam di sumbawa

f.       Peningkatan pelayanan kua ,bimbingan masyarakat islam dan pembinaan syariah di sumbawa

e.       Outcome Program

a.       Meningkatnya kualitas pemahaman dan pengamalan agama masyarakat

b.      Berkembangnya kehidupan sosial yang harmonis, rukun dan damai di kalangan umat beragama

c.       Meningkatnya kualitas pelayanan bagi umat beragama

d.      Meningkatnya kualitas penyelenggaraan ibadah haji

e.       Terwujudnya optimalisasi potensi ekonomi yang dikelola oleh pranata keagamaan

f.       Meningkatnya kualitas dan kapasitas lembaga sosial keagamaan

g.      Meningkatnya kualitas kebijakan dan tata kelola kehidupan beragama

Strategis  Bagian Tata Usaha

1.      Penyusunan SOP seluruh kegiatan di Bagian Tata Usaha ( Kepegawaian, Keuangan, Perencanaan dan Umum )  sebagai dsar Pijakan Pelaksanaan Program

2.      Agar kantor wilayah membentuk tim penyusun SOP yang akan bekerja secara terpadu

3.      Melakukan pengumpulan dan pengolahan data serta penyusunan program dan rencana kerja, dan melakukan pengolaan, laporan keuangan dan Barang Milik Negara (BMN)

4.      Pendataan Administrasi Kepegawaian

5.      Pengembangan SDM

6.      Menyelenggarakan kegiatan dan menyediakan sarana yang dapat meningkatkan pencitraan diri dan lembaga Kementerian Agama

7.      Penetapan standar pelayanan publik berupa penyusunan SOP dan SPM

8.      Pengembangan Budaya Kerja

9.      Percepatan TLHP

10.  Orientasi dan Bimbingan Perencanaan

11.  Orientasi Penyusunan Program RKAKL

12.  Peningkatan Pelayanan Informasi Penyajian dan Penerimaan Data Berbasis Jaringan Internet dan Intranet

13.  Orientasi SAI dan BMN

14.  Pendampingan Penyusunan Laporan Keuangan Disetiap Satker dalam rangka pencapaian target laporan keuangan departemen keuangan wajar tanpa pengecualian

15.  Pendataan dan penataan kembali barang milik negara ditingkat Satker serta kelengkapan administrasi seluruh aset barang milik negara disetiap Satker

16.  Pembangunan Website Departemen Agama Provinsi NTB  sebagai media informasi ekstern dan intren

17.  Penerapan Kepemerintahan Yang Baik

1.      Orientasi manajemen Kepegawaian

2.      Orientasi manajemen ketatausahaan

3.      Diklat ditempat kerja pengelola kepegawaian di tiap satker

4.      Pengadaan file pegawai

5.      Rapat teknis pengelola kepegwaian satker

6.      Pemutakhiran visualisasi data kepegawaian

7.      Pemberdayaan Simpeg

8.      Pengadaan software peraturan perundang-undangan

9.      Penyusunan SOP perkegiatan kepegawaian

10.  Pembekalan CPNS

11.  Pembinaan pegawai

12.  Workshop bina mental pegawai

13.  Ujian penyesuaian kenaikan pangkat / ujian dinas

14.  Menyelenggarakan senam kebugaran

15.  Lomba olah raga dan seni antar pegawai

16.  Wisata keluarga

17.  Pemberian reward bagi pegawai yang berprestasi

18.  Penataran retorika dan protokoler

19.  Orientasi arsiparis

20.  Sosialisasi penyusunan DUPAK bagi tanaga fungsional

21.  Bantuan beasiswa bagi pegawai

22.  Bantuan advokasi bagi pegawai

18.  Peningkatan Kerukunan Umat Beragama

1.      Pengadaan perlengkapan sarana gedung FKUB provinsi dan Kabupaten / Kota

2.      Pengadaan Kitab Suci Agama-agama

3.      Workshop wawasan Multikultural

4.      Bantuan operasional FKUB Provinsi, Kabupaten dan Kota

5.      Pembinaan penyakit masyarakat

6.      Pengawasan aliran kepercayaan masyarakat

Bidang Pendidikan Madrasah

1.      Penyusunan SOP seluruh kegiatan di Bidang Mapenda  sebagai dsar Pijakan Pelaksanaan Program

2.      Menyusun Kurikulum Pendidikan Madrasah dalam rangka penyesuaian kurikulum Pendidikan Nasional dengan mengabungkan Karakter / Faktor utama Pendidikan Madrasah yaitu pendidikan Agama dalam Pembelajaran dan Pengajaran Materi umum

3.      Program pengembangan budaya relegius pada satuan pendidikan

4.      Program pengembangan  MI-MTs terpadu  dan Pembinaan secara kontinu

5.      Program pengembangan program vokasional pada MA

6.      Program pengembangan sistem informasi manajemen pendidikan

7.      Program peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan

8.      Program pengembangan sistem perencanaan pendidikan Madrasah

9.      Program pengembangan sistem penganggaran pendidikan Madrasah

10.  Program pengembangan sistem monitoring dan evaluasi pendidikan Madrasah

11.  Program peningkatan kapasitas institusi satuan pendidikan

12.  Program peningkatan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan

13.  Program peningkatan infrastruktur manajemen pelayanan pendidikan

14.  Program peningkatan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dalam proses pembelajaran dan tata kelola pendidikan

15.  Program pencitraan Pendidikan Madrasah

16.  Program peningkatan wawasan kepala madrasah dan pengawas

17.  Sertifikasi tanah madrasah

18.  Bantuan beasiswa bagi guru dan tenaga kependidikan

19.  Pemberian reward bagi guru dan tenaga kependidikan berprestasi

20.  Pemberian Beasiswa miskin dan berprestasi

21.  Program peningkatan mutu pengawas

22.  Peningkatan biaya operasional dan perjalanan dinas pengawas

23.  Pembuatan SOP seleksi pengawas dan standarisasi kompetensi pengawas

24.  Peningkatan rekrutmen pengawas pada semua jenjang pendidikan

25.  Pendekatan customer focus: Kebijakan Pencitraan Madrasah.

1.      Peluncuran buku Mapping Madrasah (Madrasah Mapping) meliputi aspek kelembagaan, kesiswaan, ketenagaan, sarana, kurikulum dan evaluasi.

2.      Promosi Madrasah Melalui Media Massa

26.    Pendekatan leadership: Kebijakan Standarisasi Promosi dan Mutasi Kepala    Madrasah

27.    Pendekatan social participation: Kebijakan Penguatan Kelembagaan Komite Madrasah

28.    Pendekatan in-put, proses dan out-put: Kebijakan  implementasi jaminan mutu pendidikan meliputi standarisasi rekrutmen siswa, guru dan tenaga kependidikan; standarisasi jaminan proses pembelajaran; sistem jaminan kelulusan

29.    Pendekatan controll dan evaluation: Kebijakan mekanisme evaluasi terhadap siswa, guru, dan tenaga kependidikan serta sangsi yang disepakati oleh civitas madrasah.

30.    Pendekatan link dan match:

1.      Kebijakan penguatan kurikulum muatan lokal (muatan bahaya narkoba, seks bebas, maltikulturalisme).

2.      Restrukturisasi peran dan fungsi MDC bagi kemajuan pendidikan Agama dan madrasah

31.  Peningkatan Akses dan Mutu Madrasah Ibtidaiyah

Keluaran (outputs) yang hendak dihasilkan dari kegiatan ini adalah:
1) Tersedia dan terjangkaunya layanan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (MI).
2) Meningkatnya mutu layanan pendidikan MI
3) Meningkatnya mutu dan daya saing lulusan MI
4) Meningkatnya mutu tata kelola MI

Keluaran (outputs) tersebut dicapai antara lain melalui penyediaan dan pengembangan sarana prasarana MI termasuk di daerah bencana, terpencil dan tertinggal; pemanfaatan teknologi informasi bagi kegiatan belajar-mengajar dan pengelolaan pendidikan; penyediaan bantuan peningkatan mutu madrasah; peningkatan mutu kurikulum dan bahan ajar; peningkatan partisipasi masyarakat dan bantuan luar negeri; penilaian dan pemberian akreditasi; peningkatan kualitas manajemen madrasah; serta peningkatan mutu tata kelola pendidikan, selain itu pencapaian kegiatan ini juga mencakup berbagai hal terkait pendidikan anak usia dini dan RA/BA.

Peingkatan Akses dan Mutu Madrasah Tsanawiyah
Keluaran (outputs) yang hendak dihasilkan dari kegiatan ini adalah:
1) Tersedia dan terjangkaunya layanan pendidikan Madrasah Tsanawiyah (MTs);
2) Meningkatnya mutu layanan pendidikan MTs;
3) Meningkatnya mutu dan daya saing lulusan MTs;
4) Meningkatnya mutu tata kelola MTs.

Keluaran (outputs) tersebut dicapai antara lain melalui penyediaan dan pengembangan sarana prasarana MTs, termasuk di daerah bencana, terpencil dan tertinggal; pemanfaatan teknologi informasi bagi kegiatan belajar-mengajar dan pengelolaan pendidikan; penyediaan bantuan peningkatan mutu madrasah; peningkatan mutu kurikulum dan bahan ajar; peningkatan partisipasi masyarakat dan bantuan luar negeri; penilaian dan pemberian akreditasi; peningkatan kualitas manajemen madrasah; serta peningkatan mutu tata kelola pendidikan.

Peningkatan Akses dan Mutu Madrasah Aliyah
Keluaran (outputs) yang hendak dihasilkan dari kegiatan ini adalah:
1) Tersedia dan terjangkaunya layanan pendidikan Madrasah Aliyah (MA)
2) Meningkatnya mutu layanan pendidikan MA
3) Meningkatnya mutu dan daya saing lulusan MA
4) Meningkatnya mutu tata kelola MA

Keluaran (outputs) tersebut dicapai antara lain melalui penyediaan dan pengembangan sarana prasarana MA, termasuk di daerah bencana, terpencil dan tertinggal; pemanfaatan teknologi informasi bagi kegiatan belajar-mengajar dan pengelolaan pendidikan; penyediaan bantuan peningkatan mutu madrasah; peningkatan mutu kurikulum dan bahan ajar; peningkatan partisipasi masyarakat dan bantuan luar negeri; penilaian dan pemberian akreditasi; peningkatan kualitas manajemen madrasah; serta peningkatan mutu tata kelola pendidikan.

Penyediaan Subsidi Pendidikan Madrasah Bermutu
Keluaran (outputs) yang hendak dihasilkan dari kegiatan ini adalah:

1) Tersedianya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi MI dan MTs

2) Tersalurkannya beasiswa bagi siswa miskin.

Keluaran (outputs) tersebut dicapai antara lain melalui penyediaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi madarasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah; penyediaan beasiswa bagi siswa berprestasi dan siswa miskin, termasuk di daerah bencana, terpencil dan tertinggal; serta penyediaan safeguarding (monitoring, rakor, evaluasi) bagi BOS pada tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

Peningkatan Mutu dan Kesejahteraan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Madrasah
Keluaran (outputs) yang hendak dihasilkan dari kegiatan ini adalah:
1) Meningkatnya profesionalisme tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
2) Meningkatnya kesejahteraan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan

Keluaran (outputs) tersebut dicapai antara lain melalui penyediaan dan peningkatan kualifikasi guru, pengawas dan tenaga kependidikan; penyediaan beasiswa dan bantuan pendidikan lainnya; peningkatan kompetensi kepala madrasah; serta penyediaan tunjangan fungsional, profesi dan purna bakti.

Bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan

1.      Program pengembangan sistem informasi manajemen pendidikan

2.      Program peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan

3.      Program pengembangan sistem perencanaan pendidikan Agama dan Keagamaan

4.      Program pengembangan sistem penganggaran pendidikan Agama dan Keagamaan

5.      Program pengembangan sistem monitoring dan evaluasi pendidikan Agama dan Keagamaan

6.      Program peningkatan kapasitas institusi satuan pendidikan

7.      Program peningkatan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan Agama dan Keagamaan

8.      Program peningkatan infrastruktur manajemen pelayanan pendidikan Agama dan Keagamaan

9.      Program peningkatan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dalam proses pembelajaran dan tata kelola pendidikan Agama dan Keagamaan

10.  Program pencitraan pendidikan Agama dan Keagamaan

11.  Penyusunan SOP seluruh kegiatan di PENDIDIKAN AGAMA DAN KEAGAMAAN sebagai dsar Pijakan Pelaksanaan Program

12.  Program pembinaan dan peningkatan kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam pada satuan Agama Islam

13.  Program Wajar Dikdas 9 Tahun

1.      Pembinaan pengelolaan madin

2.      Pembinaan Manajemen Pondok Pesantren

3.      Tim Assement Pontren Salafiyah / Madin

4.      Pembinaan dan Sosialisasi Unas pada PPS

5.      Sosialisasi Ujian Paket A B

6.      Pembinaan Pokja Pontren

7.      Raker Jajaran Pontren

8.      Pembinaan Penataan Kurikulum dan Model Pembelajaran pada Madin dan pontren

9.      Pengembangan program perkampungan bahasa arab dan bahasa inggris pada pontren

10.  Informal meeting para kiyai / pimpinan pontren / madin

14.  Program Pend. Non Formal

1.      Pembinaan dan peningkatan mutu tenaga tutor pada pontren

2.      Rapat koordinasi lintas sektor dalam penyelenggaraan program paket pada pontren

3.      Bantuan alat keterampilan

15.  Program manajemen pelayanan pendidikan

1.      Orientasi pengembangan kurikulum pontren

2.      Orientasi pengembangan kurikulum  nahwu sharaf

3.      Pelatihan kaderisasi peserta MQK

4.      Bantuan RKB pontren / madin

5.      Pemagangan guru pontren pada MAN Insan Cendekia

6.      Sosialisasi pengemabangan pontren salafiyah

7.      Praktek dan orientasi lapangan prog. Bimbingan peningkatan kualitas guru pontren dan madin

8.      Koordinasi validasi data pontren dan madin

16.  Pembinaan instruktur LPTQ Kab./Kota 6 lokasi

17.  Bantuan pengembangan Tilawatil Qur’an

18.  Bantuan beasiswa S1 dan S2 bagi ustadz pada pontren, pendidikan al-Qur’an dan pendidikan diniyah

19.  Mendirikan tempat pendidikan keterampilan usaha (TPKU) pontren

20.  Memperkuat kerjasama dalam pemberdayaan produk pesantren dengan kegiatan sebagai berikut :

·         Pengembangan kawasan lingkungan hidup pontren

·         Orientasi pemanfaatan limbah pontren

·         Orientasi kesehatan pontren

·         Penilaian lingkungan sehat pondok pesantren

21.  Pemberdayaan santri melalui minat dan bakat, melalui kegiatan sebagai berikut :

·         Pengembangan pendidikan multikultural bagi santri pontren

·         Orientasi wawasan multikultural bagi guru pontren

·         Pembinaan iptek keagamaan dan sosbud

·         Bimbingan ujian masuk PT bagi santri

·         Seleksi ujian masuk PT bagi santri

·         Seleksi MQK tingkat daerah

·         Pelaksanaan MQK tingkat nasional

·         Pengadaan kitab-kitab rujukan

·         Bantuan Pengembangan Kewirausahaan pondok pesantren

22.  Meningkatkan peran pontren (salafiyah, asyriyah, khalafiyah) dan madrasah diniyah sebagai lembaga pendidikan keagamaan pada masyarakat serta pengembangan program Wajar 9 tahun

23.  Pengembangan pendidikan Al-Qur’an

24.  Pencanangan Musabaqah dan Hafalan Qur’an antar TPQ

25.  Pembelajaran Menulis Huruf Al-Qur’an

26.  Pembinaan teknis Tilawah Al-Qur’an / lagu santri

27.  Mewujudkan pondok pesantren yang berkualitas, mandiri, berdaya saing, dan kuat sehingga mampu menjadi pusat unggulan pendidikan agama Islam dan pengembangan masyarakat dalam rangka pembentukan watak dan kepribadian santri sebagai muslim yang taat dan bertanggung jawab.

28.  Peningkatan Akses dan Mutu Pendidikan Keagamaan Islam

Keluaran (outputs) yang hendak dihasilkan dari kegiatan ini adalah:

Tersedia dan terjangkaunya layanan Pendidikan Non Formal, Diniyah, dan Pondok Pesantren.
Meningkatnya mutu layanan Pendidikan Non Formal, Diniyah, dan Pondok Pesantren.
Meningkatnya mutu dan daya saing lulusan Pendidikan Non Formal, Diniyah, dan Pondok Pesantren
Meningkatnya mutu tata kelola Pendidikan Non Formal, Diniyah, dan Pondok Pesantren

Keluaran (outputs) tersebut dicapai antara lain melalui penyediaan BOS pada pondok pesantren penyelenggara program Wajar Dikdas; penyediaan dan pengembangan sarana prasarana Pendidikan Non Formal, Diniyah, dan Pondok Pesantren, termasuk di daerah bencana, terpencil dan tertinggal; peningkatan mutu lulusan dan daya saing; penyaluran beasiswa; peningkatan mutu kurikulum dan bahan ajar; peningkatan partisipasi masyarakat dan bantuan luar negeri; pengembangan kemitraan dengan berbagai pihak; pengembangan Ma`had Aly pada pondok pesantren; serta peningkatan mutu tata kelola pendidikan.

29.  Penyediaan Subsidi Pendidikan Keagamaan Islam Bermutu

Keluaran (outputs) yang hendak dihasilkan dari kegiatan ini adalah tersedia dan tersalurkannya BOS pada pendidikan keagamaan dan beasiswa bagi santri berprestasi.
Keluaran (outputs) tersebut dicapai antara lain melalui penyaluran BOS pada satuan pendidikan keagamaan dan penyediaan beasiswa bagi santri berprestasi.

30.  Peningkatan Akses dan Mutu Pendidikan Agama Islam pada Sekolah

Keluaran (outputs) yang hendak dihasilkan dari kegiatan ini adalah:
1) Tersedianya layanan pendidikan agama Islam pada sekolah
2) Meningkatnya mutu layanan pendidikan agama Islam pada sekolah;
3) Meningkatnya kualitas pemahaman dan pengamalan ajaran agama peserta didik.

Keluaran (outputs) tersebut dicapai antara lain melalui penyediaan dan pengembangan sarana prasarana Pendidikan Agama Islam (PAI) pada sekolah, termasuk di daerah bencana, terpencil dan tertinggal; pembentukan dan peningkatan kapasitas Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), dan Kelompok Kerja Pengawas (Pokjawas) Pendidikan Agama Islam; peningkatan mutu kurikulum dan bahan ajar PAI; pengembangan standar model PAI pada sekolah; serta peningkatan partisipasi dan kemitraan sekolah, masyarakat dan pihak terkait lainnya dalam pengembangan PAI.

31.  Peningkatan Mutu dan Kesejahteraan Pendidik dan Pengawas Pendidikan Agama Islam

Keluaran (outputs) yang hendak dihasilkan dari kegiatan ini adalah:
1) Meningkatnya profesionalisme tenaga pendidik dan tenaga kependidikan agama Islam
2) Meningkatnya kesejahteraan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan agama Islam

Keluaran (outputs) ini dicapai antara lain melalui peningkatan kompetensi dan kualifikasi pendidikan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan agama Islam; penyediaan beasiswa dan bantuan pendidikan lainnya bagi guru; peningkatan wawasan guru melalui program pertukaran guru PAI; penyediaan subsidi tunjangan fungsional bagi guru PAI non-PNS; penyediaan tunjangan profesi bagi guru PAI; dan tunjangan khusus bagi guru PAI di daerah terpencil.

32.  Kebijakan Pendidikan Islam di Sekolah

Kebijakan menurut  Anderson, ialah pertama dalam konteks politik modern sebagai perencanaan oleh aktor-aktor yang terlibat  dalam sistim politik. Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan undang-undang mengenai suatu hal,tetapi juga keputusan- keputusan  beserta dengan pelaksanaannya. Ketiga, mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi permasalahan tertentu. Dalam kebijakan, juga dikenal istilah keputusan kebijakan yaitu keputusan- keputusan yang dibuat oleh pejabat- pejabat pemerintahan yang mengesahkan atau memberi arah substansi kepada tindakan- tindakan kebijakan publik, termasuk dalam kegiatan ini adalah menetapkan undang- undang dan peraturan- peraturan

Banyak orang merancukan pengertian istilah “ Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Islam “ kedua istilah ini dianggap sama, menurut Ahmad Tafsir, yang membedakan antara pendidikan agama Islam (PAI) dan pendidikan Islam adalah PAI dibakukan sebagai kegiatan pendidikan agama Islam. PAI sebagai mata pelajaran seharusnya dinamakan Agama Islam. Nama kegiatannya atau usaha- usahanya dalam mendidik agama Islam disebut pendidikan agama Islam. Dalam hal ini PAI sejajar dengan mata pelajaran lainnya sedangkan pendidikan Islam ialah nama sistim, yaitu sistim pendidikan Islam adalah komponen- komponen yang secara keseluruhan mendukung terwujudnya sosok muslim yang diidealkan. Pendidikan Islam ialah yang teori- teorinya disusun berdasarkan al Qur’an dan Hadits.

Sedangkan konsep tujuan pendidikan Islam adalah perubahan yang diinginkan oleh proses pendidikan atau usaha untuk mencapainya, baik dengan tingkah laku pribadi maupun masyarakat sedangkan sekolah disini memiliki pengertian umum secara formal dari pendidikan dasar ( SD, SMP, SMA). Kebanyakan menyebutnya sebagai sekolah umum. Sehingga dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa kebijakan pemerintah terkait dengan pendidikan Agama Islam disekolah umum, serta beberapa masalah yang dihadapi sembari mencoba memberi solusinya

Pada pembukaan undang- undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun  2005 tentang Guru dan Dosen, bahwa pembangunan nasional dalam bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertaqwa dan dan berakhak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur dan beradap berdasarkan pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting bagi keberlangsungan pembangunan nasional. Apalagi persoalan kualitas akhlaq generasi bangsa, yang hari ini masih menjadi sorotan utama dalam kinerja pendidikan nasional. Persoalan pendidikan agama merupakan bagian yang tidak bisa diabaikan terkait dengan kualitas akhlaq bangsa. Lebih- lebih pendidikan agama Islam di sekolah yang nota bene masyarakat muslim di Indonesia merupakan mayoritas.

Pada proses dan pembentukan dan pasca rancangan UU Sisdiknas, terjadi polemic yang bekepanjangan terkait pendidikan agama di sekolah. Hal ini dimaklumi bahwa selain  bagaimana peserta didik diharapkan mampu menghayati dan menjalankan isi agama yang diyakini tetapi terdapat kepentingan besar terutama tokoh- tokoh muslim Indonesia untuk mengakomodir pelajaran agama Islam di sekolah. Untuk itu sejauh mana kebijakan pemerintah terhadap pendidikan agamaIslam di sekolah, akan dijelaskan di pembahasan berikutnya ini

1.      Dasar Kebijakan Pendidikan Agama Islam di Sekolah

Dalam pancasila sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan Negara Indonesia mengakui tentang adanya Tuhan. Pengejawantahan tersebut terlihat dalam agama-agama yang diakui di Indonesia. Agama merupakan bagian kehidupan bangsa Indonesia. Sehingga pendidikan agama merupakan bagian yang terintegrasi dalam pembangunan nasional Indonesia.

Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara RI tahun 1945 menyatakan bahwa tujuan nasional adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian  abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya pasal 31 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengatakan bahwa 1. Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan 2. Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya 3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistim pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlaq mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dalam undang-undang.

 Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistim pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Unadang- Undang  Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisstem pendidikan Nasional.

Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relefansinya serta efesiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan dwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olah hati, olah piker, olah rasa, dan olah raga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global. Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi sumberdaya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan pembaharuan pengelolaan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

Sebagaimana amanat diatas menunjukkan pendidikan akhlak merupakan aspek yng sangat penting bagi keberhasilan pembangunan nasional. Sedangkan pendidikan akhlaq merupakan bagian yang integral terhadap agama termasuk Islam.

Dalam PP tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan bab II Pasal 2 ayat 1 “pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter maupun antar umat beragama.”

Pendidikan agama menurut pasal ini tidak sekedar membentuk akhlak peserta didik dan mengabdi kepada Tuhannya tetapi harus mampu menjaga perdamaian dan kerukunan hidup beragama dan antar umat beragama, karena bangsa Indonesia termasuk Negara yang plural, maka amanat pemerintah bisa dilihat dalam visi kebijakannya dalam upaya menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa, karena persatuan dan kesatuan bangsa sering kali dinodai dengan konflik- konflik yang bertendensi agama.

Pada pasal 2 ayat 2 PP tentang pendidikan agama dan keagamaan menyebutkan bahwa “pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai- niloai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Selain itu pasal 5 ayat 3 pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan agama sabagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada ayat 4” pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesame pemeluk agama yang dianut terhadap pemeluk lain.” Pada ayat 5 pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus dan bertanggungjawab. Pada pasal 6 “pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis inofatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan teknologi dan seni.

Sedangkan dalam mata pelajaran agama di sekolah lampiran permendiknas Nomor 22 tahun 2006, mencakup kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berkhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Termasuk juga pendidikan agama islam di sekolah umum dituntut untuk menyesuaikan dengan tujuan pendidikan nasional seperti amanat Undang- Undang, PP, dan Permendiknas.

Dalam pelaksanaannya sesuai dengan Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang struktur kurikulum, terlihat pendidikan agama termasuk Islam diajarkan kepada peserta didik 2 jam pelajaran disetiap minggu disetiap jenjang. Setiap jam Disetiap jenjang berbeda, ditingkat dasar setiap jam pelajaran 35 menit. Ditingkat SMP setiap jam pelajaran 40 menit dan ditingkat SMA setiap jam 45 menit. Sedang minggu efektif dalam satu tahu pelajaran (dua semester) adalah 34-38 minggu.

Problem Kebijakan Pendidikan

Agama Islam di Sekolah

Dari pemaparan beberapa kebijakan pemerintah terhadap pendidikan agama khususnya Islam, terdapat beberapa analisis yaitu:

1.      Pendidikan agama termasuk Islam di sekolah dituntut untuk mampu menciptakan peserta didik yang cakap moral, akhlaq, beriman dan bertaqwa, serta mampu menjaga nilai-nilai kerukunan hidup umat beragama. Namun disisi lain pembiayaan Negara khususnya untuk mewujudkan tujuan tersebut belum maksimal sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang- Undang.

2.      Dari sisi kurikulum, alokasi waktu untuk mencapai tujuan dan amanat pembangunan pendidikan nasional sangat tidak berimbang, justru terkesan hal ini tidak konsisten dan formalitas. Political will pemerintah masih dipertanyakan. Karena jika peserta didik hanya mendapatkan mata pelajaran agama Islam disekolah tidak dibantu sekolah keagamaan seperti diniyah, bukan mengada-ada akan terjadi demoralisasi dan pendangkalan anak bangsa terhadap agama yang dipeluknya. Dan bahkan agama tidak dijadikan sebagai budaya hidup namun hanya untuk labeling. Implikasinya terhadap mutu kurikulum PAI itu sendiri. Menurut Muhaimin pendidikan agama Islam maupun proses pelaksanaannya masih dikotomik dan mengalami reduksi dalam orientasinya, sehingga yang muncul di lapangan adalah : 1). Orientasi mempelajari al Qur’an dan Hadits masih cenderung pada kemampuan membaca teks, belum lebih kepada penggalian arti dan makna tekstual dan kontekstual, 2). Dalam aspek keimana atau aqidah ada kecenderungan mengarah pada paham fatalistic dan truth claim. 3). Aspek ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian sebagai konsekwensi dari ibadah, 4). Dalam aspek fiqih cenderung dipelajari sebagai tata aturan yang baku dan tidak berubah, 5). Aspek akhlak masih hanya dipahami sebagai sopan santun dan belum dipahami sebagai keseluruhan pribadi manusia beragama (kontekstual), 6). Pada aspek tarikh hanya mencakup memahami sejarah bersifat kognitif belum banyak mengungkap makna historis.

Upaya Solusi Terhadap Kebijakan Pendidikan Agama Islam di Sekolah

Bertolak dari problematika diatas terdapat dua pendekatan untuk mengatasi kelemahan kebijakan pendidikn agama Islam di sekolah, yaitu pertama, pendekatan advokasi kebijakan. Kedua pendekatan pengembangan kurikulum PAI.

1.      Pada problem kebijakan misalnya belum maksimalnya kewajiban untuk melaksanakan amanat Undang- Undang anggaran pendidikan terutama terkait dengan pendidikan agama islam. `advokasi kebijakan ini terutama pada proses perencanaan maupun implementasi kebijakan di lapangan. Jika implementasi anggaran 20% maksimal termasuk dalam penggunaan anggaran tersebut adalah penambahan jam pelajaran pendidikan agama Islam baik di program kurikuler, ekstrakulikuler, pengembangan diri melalui kegiatan siswa.

2.      Pembelajaran agama Islam perlu pendekatan terpadu (integrated). Pembelajaran agama Islam terpadu ini merupakan suatu aplikasi salah satu strategi pembelajaran berdasarkan pendekatan kurikulum terpadu dengan tujuan untuk menciptakan proses pembelajaran secara relevan dan bermakna bagi siswa. Pembelajaran ini didasarkan pada pendekatan inquiry, yaitu melibatkan siswa mulai dari merencanakan, mengekplorasi dan brainstorming siswa. Pembelajaran terpadu dalam konteks ini termasuk dalam kategori pembelajaran terpadu intra bidang studi, dalam arti yang dipadukan adalah kompetensi dasar yang sama pada kelas yang sama dari aspek- aspek mata pelajaran PAI, dan memilih tema yang dapat mempersatukan kompetensi- kompetensi dasar tersebut untuk setiap kelas dansemester dengan memadukan materi- materi dalam satu bidang studi PAI. Misalnya dalam prakteknya guru dan siswa mempelajari tema kemiskinan siswa diajak mempelajarinya di setiap aspek- aspek al-Quran dan Hadits keimanan, akhlaq dan sejarah yang terkait dengan tema kemiskinan.

Bidang BIMAS ISLAM

                              1.            Pelayanan NR dan pemberdayaan KUA

                              2.            Pembinaan keluarga sakinah

                              3.            Pengadaan sarana dan prasarana balai nikah

                              4.            Studi banding ke KUA berprestasi tingkat nasional

                              5.            Tercapainya peningkatan kualitas tenaga teknis penasehatan perkawinan.

                              6.            Tercapainya peningkatan kualitas keluarga sakinah.

                              7.            Tercapainya keluarga sakinah dari pra sakinah

                              8.            Tercapainya peningkatan informasi dan pengetahuan tentang balita islami

                              9.            Bantuan operasioanal pelaksanaan akad nikah di balai nikah

                          10.            Menetapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Pelayanan NR

                          11.            Menetapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Pembinaan Keluarga Sakinah

                          12.            Menetapkan Kepala KUA, Penghulu, dan Penyuluh Agama Islam sebagai motifator dan konselor Keluarga Sakinah

                          13.            Bantuan pembangunan / rehab rumah ibadah

                          14.            Meningkatnya kualitas pelayanan dan bimbingan pemberdayaan fungsi dan manajemen masjid

                          15.            Konsultasi ke pusat

                          16.            Meningkatkan kualitas bimbingan dan penyuluhan pada masyarakat, kompetensi penyuluh dan cakupan sasaran binaan dengan kegiatan antara lain:

                                                      1.            Bimbingan dan penyuluhan di media elektronik dan cetak

                                                      2.            Berpartisifasi aktif dalam seminar, lokakarya, orientasi pengurus organisasi keagamaan, dll.

                                                      3.            Penyediaan operasional penyuluh

                          17.            Meningkatkan jaringan kerja sama dengan ormas-ormas Islam dalam merefleksikan dan mengaktualisasikan program pembinaan umat dengan kegiatan antara lain :

                                                       I.            Mengupayakan memberikan bantuan terhadap lembaga-lembaga keagamaan pelatihan da’i – da’iah

                                                    II.            Pemetaan lembaga-lembaga dakwah, pendataan da’i – da’iah

                          18.            Mengoptimalkan upaya pelestarian khasanah budaya NTB, pustaka keagamaan dan kegiatan seni

                                                       I.            Pendataan Lembaga Kesenian, Seniman, dan Benda Budaya Islami

                                                    II.            Bantuan Operasional Lembaga Kesenian

                                                 III.            Intensif Bagi Juru Pelihara Benda-Benda Budaya Islam

                          19.            Mengoptimalkan Peranan Publik dan Dakwah dan Hari Besar Islam Antara lain : Kegiatan Sosial, Keterampilan Ilmiah, Menumental dan Syi’ar.

                          20.            Tercapainya peningkatan kualitas remaja usia nikah

                          21.            Pembuatan Database Wakaf

                          22.            Pendataan Mustahik dan Muzakki

                          23.            Sosialisasi dan Publikasi Program Zakat dan Wakaf Melalui Media Massa (Cetak dan Elektronik)

                          24.            Pemilihan BAZDA Profesional dan LAZ

                          25.            Pemilihan pengurus BAZDA

                          26.            Pemilihan Nazhir Teladan

                          27.            Seminar Pengelolaan Zakat dan wakaf

                          28.            Studi Banding Pengolaan Wakaf Produktif

                          29.            Pemberian bantuan rintisan Wakaf Produktif\Sosialisasi peraturan perundangan tentang zakat

                          30.            Sosialisasi peraturan perundangan tentang wakaf

                          31.            Sosiualisasi wakaf produktif

                          32.            Bantuan UPZ tingkat kecamatan

                          33.            Pendataan tanaah wakaf

                          34.            Papanisasi tanah wakfi baliho dll.

                          35.            Bantuan sertifikat tanah milik kementerian agama

                          36.            Bantuan operasional Bazda

                          37.            Membentuk desa binaan sadar zakat

                          38.            Reorganisasi dan Revitalisasi Kelembagaan Zakat;

                          39.            Profesionalisasi Pengelolaan Zakat;

                          40.            Penertiban Tanah Wakaf

                          41.            Pengembangan Wakaf Produktif

                          42.            Pemberian Zakat Award dan Wakaf Award

                          43.            Pengalokasian Dana Operasional KUA untuk Kegiatan Pelayanan Zakat dan Wakaf

                          44.            Pemberdayaan masjid

·         Penomoran masjid melalui sistem sensus

·         Pemantauan masjid dan monitoring

                          45.            Tercapainya generasi muda yang sehat tidak mengkonsumsi narkoba dan sadar bahaya HIV/AIDS

                          46.            Tercapainya peningkatan kemitraan antar ormas islam, lembaga keagamaan dan instansi terkait.

                          47.            Meningkatnya kualitas pelayanan dan bimbingan pada penyuluhan dan lembaga dakwah.

                          48.            Meningkatnya kualitas pelayanan dan bimbingan bidang siaran agama, seni keagamaan dan musium keagamaan

                          49.            Meningkatnya kualitas pelayanan dan bimbingan naskah dan rekaman, Hari Besar Islam, Kitab dan pustaka keagamaan

BIDANG PEMBINAAN SYARI’AH

                              1.            Melakukan observasi tempat dan pelaksanaan hisab rukyat tentang penentuan 1 Ramadhan, 1 Syawal, 10 Dzulhijjah dan 1 Muharram

                              2.            Melakukan penentuan arah kiblat terhadap masjid-masjid dan tempat pemakaman umum bagi kaum Muslim

                              3.            Membantu pelaksanaan pensertifikasian terhadap produk pangan halal yang diproduksi di Provinsi NTB

                              4.            Melakukan studi banding tentang produk pangan halal

                              5.            Melakukan orientasi, lokakarya dan pembinaan yang berkaitan dengan pelaksanaan hisab rukyat, penentuan arah kiblat dan pensertifikasian produk halal

                              6.            Menyediakan peralatan yang canggih yang berkaitan dengan pelaksanaan hisab rukyat, penentuan arah kiblat

                              7.            pensertifikasian produk halal

                              8.            Bantuan operasional pensertifikatan produk halal

                              9.            Sosialisasi penyesuaian arah kiblat pada masjid dan musghala

                          10.            Melakukan publikasi produk pangan halal

                          11.            Melakukakan pendataan produsen produk halal

                          12.            Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan pihak-pihak terkait tentang pelaksanaan hisab rukyat, penentuan arah kiblat dan pensertifikasian produk pangan halal yang diproduksi di Provinsi

                          13.            Meningkatkan internalisasi nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan, serta akhlak yang mulia melalui jalur pendidikan non formal pada masyarakat, bimbingan dakwah serta memberdayakan lembaga-lembaga keagamaan, perpustakaan dan seni budaya Islam untuk dipublikasikan dalam bentuk kegiatan dakwah dan HBI menuju kualitas umat dalam konteks kehidupan bermasyarakat khususnya umat Islam di Provinsi NTB

BAB VI

ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI

KEMENTERIAN AGAMA

Kebijakan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sumbawatahun 2015 – 2019, diarahkan kepada lima sasaran pokok, yaitu Peningkatan kualitas kehidupan beragama, Peningkatan Kualitas Kerukunan ummat beragama, Peningkatan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, Peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji dan Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Adapun strategi untuk merealisasikan kelima kebijakan tersebut 8 (delapan) program Kantor kementerian Agama Kabupaten Sumbawasesuai dengan sasaran strategis yang telah ditetapkan, yaitu sebagai berikut :

1.        Penerapan pemerintahan yang baik dan bersih (good governant). Untuk mewujudkan program – program tersebut, maka perlu disusun langkah – langkah kongkrit sebagi berikut :

a.    Pembinaan Administrasi Perencanaan, yang meliputi Perumusan visi, misi, tujuan, penyiapan bahan perencanaan dan pengalokasian anggaran, revisi dokumen anggaran, penyusunan laporan, pengendalian dan evaluasi program kerja, penyiapan draf  RPJMN, penyusunan Rencana Strategis (Renstra) dan pengelolaan program lintas sektoral.

b.    Pembinaan Administrasi Keuangan dan Barang Miliki Negara (BMN), yang meliputi :

Ø  Pembiyaan kegiatan

Ø  Pembayaran gaji dan tunjangan karyawan

Ø  Pembinaan dan pelaksanaan PNBP

Ø  Pelaksanaan pengujian dokumen tagihan

Ø  Pengelolaan Barang Milik Negara (BMN)

Ø  Optimalisasi penerapan aplikasi pelaporan

Ø  Pemberdayaan kualitas sumber daya aparatur secara intensif dan berkenajutan.

c.    Pembinaan Adminitrasi Umum. Keluaran (out put) yang diinginkan dalam hal ini adalah : Pertama : Meningkatkan kualitas tata kelola persuratan dan kearsipan. Kedua : Meningkatkan kualitas pelayanan ketatausahaan pimpinan. Adapun langkah – langkah untuk mewujudkan out put tersebut, diantaranya :

Ø  Pengembangan sistem tata persuratan dan kearsipan

Ø  Peningkatan kualitas jabatan fungsional arsiparis

Ø  Pengembangan mutu pelayanan ketatausahaan dan kerumahtanggaan

Ø  Peningkatan pelayanan pimpinan

Ø  Penyusunan rencana pengadaan berbasis kebutuhan

Ø  Pembenahan manajemen pelayanan, penyimpanan, pendistribusian dan pemeliharaan perlengkapan dilingkungan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sumbawa.

2.        Penerapan manajemen yang professional dan proporsional

Penerapan manajemen yang profesional dan proporsional, dapat diwujudkan melalui :

Ø  Memberikan pelayanan yang prima (exelen service)

Ø  Pelayanan yang cepat, tepat dan bertanggung jawab (sesuai peraturan yang berlaku)

Ø  Tidak menerapkan layanan yang terkesan terlalu birokratis dan berbelit – belit.

Ø  Menghindari layanan yang bernuasa elitis, dalam arti pelayanan prima hanya berpihak kepada masyarkat elit saja dan tidak melakukan pungutan liar (pungli)

Ø  Terus diupayakan peningkatan kualitas sumber daya aparatur dengan melibatkannya dalam berbagai kegiatan pembinaan / diklat, sebagai bagian dari ikhtiar menuju aparatur yang profesional.

3.        Penataan sarana dan prasaran secara berkelanjutan sesuai kebutuhan.

Program ini bertujuan untuk meningkatkan mutu dan penyediaan sarana dan prasarana penunjang pelayanan tugas dan fungsi unit – unit orgnanisasi pada lingkup Kantor Kementerian Agama Kab. Sumbawa. Indikator untuk mengukur keberhasilan program ini adalah :

Ø  Tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, aman dan nyaman

Ø  Terbanguannya Gedung MIN yang baru

Ø  Terpeliharanya gedung kantor dan sarana yang ada

Ø  Tersedia dan terpiharanya perlengkapan kantor dan kendaraan dinas

Ø  Terpeliharanya mesin/perangkat teknis dan asset lainnya

4.     Mewujudkan kerukunan ummat beragama dan memelihara keharmonisan antar ummat agama. Indikator nyata yang dapat dilihat sebagai hasil dari pada program ini adalah tidak terjadinya konflik horizontal dengan mengatas namakan agama, menurunnya tindak kriminal yang berdampak terhadap terjadinya gejolak sosial dan meningkatnya gairah ummat dalam menyemarakkan syi’ar – syi’ar agama. Langkah – langkah yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah sebagai berikut :

Ø  Mengintensifkan peran dan fungsi tenaga penyuluh/juru penerang

Ø  Meningkatkan kualitas sumber daya dan kesejahteraan penyuluh agama/juru penerang, baik yang PNS, honorer dan sukarela.

Ø  Meningkatkan peran dan fungsi Forum Kerukunan Ummat Bearagama (FKUB), selaku lembaga komunikasi yang bersentuhan langsung dengan tokoh ummat beragama

Ø  Menjalin kerjasama yang baik dan membangun komunikasi yang harmonis dengan lembaga – lembaga sosial keagamaan, seperti Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKSPP), Lembaga Pondok Pesantren, Majelis Ta’lim, Majelis Dakwah, dll.

Ø  Menjalin kerjasama dengan organisasi masa (ormas) Islam seperti Nahdlatul Wathan (NW), Nahdlatul Ulama’ (NU), Muhammadiyah, dll.

Ø  Mengupayaan penyelesaian konflik antar ummat beragama dengan pendekatan persuasif.

5.     Mendorong tumbuh kembangnya lembaga pendidikan keagamaan dan lembaga sosial keagamaan sebagai pilar kekuatan ummat.

Dalam mewujudkan program tersebut, perlu dilakukan langkah – langkah sebagai berikut :

ü  Membuka ruang parsipasi yang seluas – luasnya kepada masyarakat dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa dan pengentasan ketertinggalan pengetahuan

ü  Mengupayakan pemberian bantuan dalam berbagai bentuk guna mendorong berkembangnya lembaga pendidikan keagamaan, sesuai kemampuan.

ü  Mengintensifkan pengawasan perkembangan lembaga – lembaga pendidikan keagamaan

ü  Memberikan motivasi kepada pengelola lembaga pendidikan keagamaan, agar senantiasa berupaya meningkatkan prestasi anak didik yang dibuktikan dengan peningkatan nilai UN/UAS dari tahun ketahun.

6.      Terus mengupayakan peningkatan mutu tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, sebagai ikhtiar nyata dalam meningkatkan mutu pendidikan anak bangsa. Upaya yang dilakuka dalam hal ini adalah sebagai berikut :

v  Mengupayakan peningkatan kualitas  dan jumlah tenaga pendidik yang profesional dan kompeten, yang dibuktikan dengan bertambahnya jumlah tenaga pendidikan yang bersertifikat (gruru sertifikasi)

v  Memberikan apresiasi (penghargaan) kepada guru – guru terpencil (gudacil), dalam bentuk pemberian tambahan tunjangan khsus.

v  Mengupayakan penambahan jumlah kuwota tenaga pendidik yang mendapatkan tunjangan fungsional

v  Melibatkan tenaga pendidik dalam berbagai kegiatan seperti diklat, seminar, lokakarya, dll untuk peningkatan kualitas dan profesionalismenya

7.      Mengoptimalkan pengelaolaan zakat dan wakaf kearah yang lebih potensial dan produktif. Guna mewujudkan pengelolaan zakat yang potensial dan produktif, perlu dilakukan langkah – langkah sebagai berikut :

v  Peningkatan kualitas sumber daya aparatur pengelola,  sehingga dapat mengelolaan zakat dan wakaf dengan sistem yang lebih baik, potensial dan produktif.

v  Perlu dirumuskan formulasi konsep pengelolaan zakat yang lebih produktif dan potensial.

v  Pemberdayaan peran dan fungsi lembaga – lembaga pengelola zakat dan wakaf seperti Badan Amil Zakat (BAZ), Badan Wakaf Indonesia (BWI).

v  Mendorong tumbuh kembangnya kesadaran masyarakat untuk berzakat, berinfaq, bersedekah dan berwakaf.

v  Mengawal pemberlakuan Undang – Undang dan peraturan yang terkait dengan zakat dan wakaf, agar supaya berjalan dengan baik dan benar.

8.     Meningkatkan kualitas pelayanan Haji dan Umrah

Peningkatan kualitas pelayanan Haji dan Umrah diwujudkan dalam bentuk :

v  Pelayanan pendaftaran jamaah yang cepat, tepat dan berbasis aturan.

v  Terjaminnya keamanan, kesehatan dan akomodasi jamaah haji dan umrah, mulai dari pemberangkatan hingga kemabali ketanah air.

v  Menjalin kerjasama yang baik dengan lembaga penyelenggara haji khusus dan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH), dalam rangka mewujudkan kualitas pelayanan yang baik.

v  Berupaya sedapat mungkin untuk menambah jumlah kuwota jamaah calon haji, sebagai upaya merespon animo masyarakat yang begitu besar untuk menunaikan ibadah haji.

BAB VII

ANALISA POTENSI DAN PERMASALAHAN

Dalam pandangan birokrasi, eksistensi sebuah perencanaan strategik atau yang lazim disebut Rencana Strategis (RENSTRA) adalah niscaya adanya, mengingat arah pembangunan dan indikator ketercapaian tujuan suatu program yang telah dirumuskan tidak akan dapat di ukur tanpa parameter yang jelas. Selain itu juga, penyusunan suatu perencanaan (Planning) sudah barang tentu berdasarkan analisa dan kajian yang cukup selektif dan obyektif, dengan mempertimbangkan aspek  potensi, tujuan, kebutuhan, permasalahan, kemampuan serta parameter pencapaian yang bersifat indikatif. Oleh karenanya dalam Rencana Strategis (Renstra) Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sumbawa ini, akan diuraikan hal – hal sebagai berikut :

1.    Analisa Potensi dan Permasalahan Keagamaan di  Kab. Sumbawa

2.    Visi, Misi dan Tujuan serta Tugas dan Fungsi Kantor Kementerian Agama  Kab. Sumbawa

3.    Sasaran Strategis Kantor Kementerian Agama  Kab. SumbawaTahun 2015 – 2019

4.    Arah Kebijakan dan Strategi Kantor Kementerian Agama  Kab. Sumbawa.

5.    Serta ikhtisar (ringkasan) program kerja dalam bentuk Matrik Kinerja Kantor Kementerian Agama  Kab. Sumbawa Tahun 2015 – 2019.

Dengan memuat aspek – aspek kajian sebagaimana yang disebutkan diatas,  paling tidak terdapat gambaran yang jelas tentang eksistensi, potensi dan cita – cita  besar Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sumbawa dalam memainkan perannya, sebagai institusi yang berkonsentrasi di bidang pembangunan keagamaan khususnya dan bagaimana mempersiapkan generasi bangsa yang cerdas secara intelektual, cerdas secara emosional dan cerdas secara spiritual, menuju pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, sesuai amanat Undang – Undang dan cita – cita Nasional.

A.   Analisa Potensi dan Permasalahan

a.    Kehidupan Beragama

1.    Peningkatan Kualitas Pemahaman dan Pengamalan Keagamaan

Masyarakat Sumbawa adalah masyarakat agamis, dimana semua penduduknya telah memeluk agama dan sebagian besar beragama Islam,  hal ini berarti pembangunan aspek mental dan moral ummat memiliki ruang yang sangat lebar bila di bangun melalui pintu agama, dalam arti pendekatan konsep dan doktrin keagamaan sangat efektif dan memiliki peran strategis dalam membangun karakter dan etika masyarakat. Selain itu juga, realitas menunjukkan bahwa terkadang masyarakat relatif lebih cepat sadar dan termotivasi bila disentuh melalui doktrin – doktrin keagamaan.  Partisipasi para tokoh agama dalam membangun moral ummat amat menggembirakan, hal ini terlihat dari tingginya partisipasi para tokoh tersebut dalam menyampaikan doktrin – doktrin religiusitas dalam berbagai media, baik melalui majelis ta’lim, majelis dakwah, penyuluhan keagamaan, dan kegiatan keagamaan lainnya yang di lakukan secara swadaya dan swakarsa bahkan swadana. Kondisi ini menjadi potensi yang cukup besar dalam pembangunan ummat.

Namun demikian di tengah tingginya semangat ummat dalam menanamkan doktrin keagamaan, angka kriminal masih merangkak naik, seolah penyebaran dan penanaman nilai – nilai doktrin belum memberikan pengaruh yang signifikan dalam penataan moral ummat. Belum lagi fenomena sosial keagamaan yang terjadi akhir – akhir ini yang cenderung merusak tatanan nilai religi yang sudah terformulasi ideal dan konfrehensif, dimana menjamurnya aliran pemikiran radikal bahkan menyesatkan kian merasuki ranah mental spiritual ummat. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi ummat beragama terutama ummat Islam khususnya. Pemerintah telah berupaya maksimal dalam merespon fenomena ini dengan menerbitkan berbagai regulasi dan kebijakan sebagai solusi alternatif dalam penyelesaian problematika keummatan ini, namun belum sepenuhnya dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Dengan demikian maka posisi strategis Kementerian Agama selaku institusi yang paling berkompeten dalam menyikapi persoalan keagamaan, sangatlah tepat bila terus berinovasi dan mencari formulasi yang lebih tepat dalam menjawab kebutuhan masyarakat di bidang keagamaan dengan menyusun program dan kebijakan yang relevan, terukur dan terjangkau.

2.  Peningkatan Kualitas Pelayanan Keagamaan

Dalam memberikan pelayanan publik pada prinsifnya institusi manapun pasti ingin memberikan pelayanan prima (exelen service), karena itu merupakan doktrin bagi setiap aparatur negara, agar supaya memberikan pelayanan yang sebaik – baiknya kepada masyarakat. Namun demikian, keluh kesah di masyarakat masih saja terdengar tidak puas,  hal ini memang realitas yang tidak dapat dibantah, instansi manapun tidak pernah sunyi dari kritik, termasuk Kantor Kementerian Agama di dalamnya, semua itu adalah merupakan bentuk empati dari masyarakat terhadap pimpinannya, adalah sangat wajar bila ada yang puas dan tidak puas, senang dan tidak senang, suka dan tidak suka dan seterusnya, karena tidak mungkin kita memaksa semua orang harus merasa suka dan puas, mengingat keterbatasan personil dan kemampuan aparatur di bandingkan populasi masyarakat yang begitu banyak dan jangkauan layanan yang begitu luas. Akan tetapi Pemerintah termasuk institusi Kementerian Agama di dalamnya, tidak pernah berhenti berikhtiar untuk mewujudkan pelayanan yang sebaik – baiknya kepada masyarakat. Berbagai regulasi (peraturan) telah diterbitkan dalam rangka memenuhi kebutuhan pelayanan masyarakat khususnya pelayanan di bidang keagamaan, di antaranya : Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang – Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, Undang – Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama dan Peraturan – Peraturan lainnya. Keseluruhan regulasi dan peraturan itu di hajatkan untuk menata dan memenuhi kebutuhan masyarakat di berbagai bidang tertentu secara ideal dan normatif. Selain itu juga sebagai pedoman dasar bagi aparatur dalam memberikan layanan keagamaan kepada masyarakat secara benar dan legal. Seiring dengan digulirkannya berbagai regulasi tersebut dan penyiapan tenaga layanan mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat yang paling bawah, seperti tenaga penyuluh honorer maupun sukarela yang terus berjuang di tengah masyarakat, diharapkan mampu memenuhi kebutuhan layanan keagamaan bagi masyarakat. Semua itu menjadi potensi bagi Kantor Kementerian Agama untuk terus memperbaiki kualitas layanan kepada masyarakat di bidang keagamaan.

Berbagai potensi yang ada, diyakini dapat menjawab keluhan baik diinternal institusi maupun masyarakat diluar Kantor Kementerian Agama, karena dalam realitas emperis permasalahan yang ada, bukan saja terdapat pada persepsi masyarakat umum, melainkan  di internal aparaturpun masih memerlukan penataan dan perbaikan. Beberapa permasalahan yang dapat dikemukakan antara lain :

Pertama : Jumlah tenaga penyedian layanan keagamaan yang ada sudah cukup besar, akan tetapi bila dilihat dari tingkat distribusi dan rasio kecukupan tenaga yang tersedia dibandingkan dengan jumlah kebutuhan yang ideal masih jauh dari memadai

Kedua : Berkembangnya persepsi dikalangan masyarakat tentang masih rendahnya dukungan pemerintah kepada aparatur penyedia layanan keagamaan, seperti para tenaga pembimbing dan penyuluh keagamaan, terutama tenaga penyuluh honorer. Sementara mereka mengemban tugas pelayanan yang tidak ringan.

Ketiga : Masih munculnya keluhan masyarakat menyangkut kualitas pelayanan administrasi keagamaan, seperti besaran biaya nikah, prosedur pengurusan administrasi yang terkesan terlalu birokratis dan terkadang berbelit – belit serta masih adanya pungli.

Keempat : Kompetensi dan profesionalisme aparatur penyedia layanan perlu terus ditingkatkan, sebagai ikhtiar nyata dalam rangka mewujudkan pelayanan yang cepat, tepat dan bertanggung jawab.

Kelima  : Masih rendahnya penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Prosedur Operasional (SPO) diberbagai bidang pelayanan.

Keenam :  Masih munculnya anggapan disebagian masyarakat, bahwa kebijakan institusi relatif masih terkesan pandang bulu dan tebang pilih, terutama dalam penentuan sasaran bantuan berupa dana maupun bentuk material lainnya untuk lembaga – lembaga sosial keagamaan.

3.   Optimalisasi Pengelolaan Dana dan Asset Sosial Keagamaan

Dana dan asset sosial keagamaan adalah salah potensi strategis bila di kelola secara baik dan benar. Di antara dana dan asset sosial keagamaan yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai berikut :

a.   Zakat dan wakaf, keduanya merupakan asset dan sumber dana yang dapat memberikan kontribusi yang sangat besar, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan ummat dan mengentaskan kemiskinan.  Sejumlah regulasi telah diterbitkan guna mengawal sekaligus sebagai pedoman dalam pengelolaannya, diantaranya: Undang – Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, Undang – Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pendaftaran Administrasi Wakaf Uang. Keseluruhan regulasi tersebut dihajatkan sebagai media dan petunjuk normatif dalam pengelolaan asset ummat. Selain itu juga, dalam regulasi tersebut khususnya Undang – Undang Nomor 38 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 41 Tahun 2004, bukan hanya mengatur tata kelola zakat dan wakaf semata, melainkan juga mengamanatkan pembentukan lembaga pengelola zakat dan wakaf secara mandiri dan indefenden berupa Badan Amil Zakat (BAZ) dan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Hal ini dimaksudkan agar supaya pengelolaan zakat dan wakaf benar – benar dapat dilakukan secara maksimal, produktif, profesional dan akutable.

b.   Infaq dan sadaqah. Masih tingginya animo masyarakat berpartipasi dalam hal berinfaq dan bersadaqah, sesunggunya merupakan potensi yang tidak kalah besarnya di bandingkan dengan zakat dan wakaf. Hal ini terbukti dimana sebagian besar sarana sosial keagamaan seperti sarana ibadah dan lembaga – lembaga pendidikan keagamaan seperti madrasah dan pondok pesantren, sebagian besar dibangun secara swadaya dan swadana oleh masyarakat melalui media transaksi amal jariah berupa infaq dan sadaqah. Peran dan posisi pemerintah ditengah – tengah tingginya angka partisipasi masyarakat tersebut, diharapkan sebagai motivator dan pembina serta pengawas guna mengarahkan segala potensi tersebut untuk mewujudkan pembangunan ummat seutuhnya.

c.   Dan potensi – potensi lainnya yang masih membutuhkan kreatifitas dalam penggalian sumber – sumber alternatif.

Terlepas dari potensi yang ada, namun dilain pihak terdapat sejumlah permasalahan dalam hal pengelolaan dana dan asset sosial keagamaan tersebut, diantaranya :

Pertama : Masih terdapatnya persepsi yang keliru ditengah – tengah masyarakat, dimana fungsi dana dan asset sosial keagamaan hanya diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan penganut agama yang bersangkutan. Sumber – sumber ekonomi keagamaan belum dapat dimanfaatkan bagi masyarakat secara lintas agama.

Kedua : Masih berkembangnya sikap “curiga” sebagian masyarakat terhadap usaha – usaha pemerintah dalam meningkatkan mutu pengelolaan sumber – sumber ekonomi produktif keummatan. Persepsi ini kerap kali muncul apabila pemerintah mencoba merancang kebijakan dan program untuk mengoptimalkan pengelolaan dana dan asset sosial keagamaan, cenderung dianggap terlalu jauh intervensi dalam masalah ibadah.

Ketiga : Pola distribusi zakat selama ini relatif lebih bersifat konsumtif, sehingga peran strategisnya dalam meningkatkan kesejahteraan ummat dan pengentasan kemiskinan secara permanen tidak signifikan. Karenanya barangkali sudah saatnya dirumuskan satu formulasi konsep yang lebih baik dalam pengelolaan zakat kearah yang produktif, sehingga peran dan kontribusi asset sosial keummatan berupa zakat benar – benar dapat menjadi pilar alternatif dalam membangun kekuatan ekonomi ummat.

4.   Pemberdayaan Lembaga Sosial Keagamaan

Keberadaan lembaga sosial keagamaan merupakan pilar penyangga paling vital keberlangsungan kegiatan sosial keagamaan. Di kabupaten Sumbawaterdapat cukup banyak lembaga sosial keagamaan, seperti Pondok Pesantren, Yayasan Pendidikan Keagamaan, Panti Asuhan, Asuhan Keluarga, Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kabupaten, Forum Kerukunan Ummat Beragama (FKUB), Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKSPP) dan lain sebagainya. Di samping itu juga, terdapat organisasi masa seperti Nadlatul Wathan (NW), Nahdlatul Ulama’ (NU), Muhammadiyah dan lain sebaginya. Selama ini Kementerian Agama menjalin komunikasi yang cukup baik dan harmonis dengan ormas – ormas tersebut. Hal ini merupakan asset potensial yang dapat dikembangkan dalam upaya mengembangkan sumber daya ummat. Mengingat keneradaan lembaga – lembaga tersebut mempunyai komunitas konstituen tersendiri yang dapat digerakkan kearah yang lebih maju dan mandiri. Kementerian Agama Kabupaten Sumbawamemiliki posisi strategis dalam membina dan mendorong kemajuan perkembangannya. Namun demikian keberadaan lembaga – lembaga sosial keagamaan yang ada, tidak lepas dari berbagai problematika yang menjadi kendala dalam pengembangannya. Secara umum beberapa kendala dan permasalahan yang terdapat didalamnya dapat di uraikan sebagai berikut, di antaranya :

Pertama : Pengelolaan program – program lembaga terkesan belum sepenuhnya mandiri, melainkan masih banyak bergantung kepada pemerintah. Dengan demikian pemerintah masih sangat perlu memberikan perhatian dan support dalam berbagai bentuk.

Kedua : Sebagian lembaga sosial keagamaan, terutama pondok pesantren masih mnerapkan manajemen tradisonal dan cenderung insidental. Belum sepenuhnya menarapkan konsep manajemen ideal, yang meliputi Perencanaan (Planning), Pengonisasian (organizing), Pelaksanaan (actuating), Pengawasan (controling) dan  Penilaian (evaluating).

Ketiga : Lembaga – lembaga sosial keagamaan yang ada masih perlu penataan ekonomi lembaga kearah yang lebih produktif dan permanen, guna menjaga stabilitas dan keberlangsungan program – program yang telah direncanakan.

b.    Kerukunan Ummat Beragama

Kerukunan ummat beragama adalah asset dan modal sosial yang sangat potesnial untuk mewujudkan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, maka ketika modal dan asset ini tidak dikelola dengan baik, maka sudah barang tentu kerapuhan dalam kerukunan tidak dapat dihindari. Sejumlah kerangka regulasi untuk mewujudkan kerukunan ummat beragama dapat dijadikan landasan yuridis oleh pemerintah terutama Kementerian Agama dalam memainkan perannya selaku pengayom dan pelindung ummat beragama. Diantara perangkat aturan yang telah tersedia adalah Petraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006. Selain kerangka regulasi, keberadaan lembaga Forum Komunikasi Ummat Beragama (FKUB) juga bagian dari instrumen strategis yang dapat diperankan secara baik dalam upaya menuju kerukunan ummat beragama, baik inter maupun antar ummat beragama.

Dilain pihak, sejumlah permasalahan yang ditengarai dapat menghambat kerukunan ummat beragama, diantaranya :

Pertama : Masih adanya persepsi sebagian masyarakat bahwa program peningkatan kerukunan ummat beragama yang dikembangkan cenderung bersifat elitis, artinya program tersebut baru menyentuh lapisan masyarakat elit saja (tokoh agama dan lembaga keagamaan), belum menjangkau lapisan masyarakat bawah.

Kedua : Upaya penciptaan dan pemiliharaan kerukunan ummat beragama selama ini lebih menekankan pada pendekatan struktural formal dari pada pendekatan kultural yang lebih mengapresiasi peranan dan partipasi masyarakat serta mempertimbangkan kearifan lokal.

Ketiga : Masih terdapatnya sebagian penerang/juru dakwah yang menyampaikan materi penyiaran agama dengan mengabaikan realitas sosial yang plural (majemuk).

Keempat : Konflik sosial yang muncul ditengah masyarakat terkadang mengatasnamakan agama.

c.   Pendidikan Raudlatul Atfhal, Madrasah, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan

Pendidikan Raudlatul Athfal, Madrasah Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, merupakan pilar penting pembangunan pendidikan nasional dalam rangka mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan berakhlaq mulia. Sejumlah potensi untuk dibidang pendidikan agama dan keagamaan yang dapat dikembangkan antara lain :

Pertama : Adanya kerangka ragulasi PP Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Penerapan standar pelayanan dan evaluasi pendidikan agama, serta peningkatan pembinaan terhadap lembaga pendidikan keagamaan yang berkembang di masyarakat. Potensi yuridis ini perlu didukung dan ditindak lanjuti dalam bentuk kebijakan turunan sebagai pedoman pelaksanaan.

Kedua : Peningkatan mutu, akses dan daya saing pendidikan Raudlatul Athfal, Madrasah, Perguruan Tinggi Agama, Pendidikan agama dan Pendidikan keagamaan merupakan salah satu program prioritas pemerintah yang mendapat dukungan masyarakat luas.

Ketiga : Besarnya dukungan kebijakan dibidang anggaran yang dialokasikan untuk bidang pendidikan.

Keempat : Tingginya animo masyarakat dalam berperan serta di bidang pendidikan agama dan keagamaan, hal ini terbukti dengan banyaknya lembaga pendidikan agama dan keagamaan berupa madrasah dan pondok pesantren yang dibangun/didirikan oleh masyarakat secara swadaya.

Namun demikian disisi lain terdapat beberapa permasalahan yang berpotensi dan dapat menghambat upaya peningkatan kualitas Pendidikan Raudlatul Athfal, Madrasah, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, antara lain : Masih terdapatnya kesenjangan antara Pendidikan Raudlatul Athfal, Madrasah, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan dengan lembaga pendidikan lainnya, terutama dalam hal penyediaan daya dukung pendanaan dan penyediaan tenaga pendidik yang profesional. Selain itu juga sebagian besar lembaga pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, yang berada dibawah binaan Kantor Kemneterian Agama  Kabupaten Sumbawa, sebagian besar berstatus swasta dengan daya dukung yang sangat terbatas.

d.    Penyelenggaraan Haji dan Umrah

Penyelenggaraan ibadah haji merupakan salah satu satu program prioritas pembangunan dibidang agama dan sering kali diposisikan sebagai salah satu indikator kinerja Kementerian Agama. Penyelenggraan ibadah haji dari tahun ke tahuan terus mengalami peningkatan, terutama dari segi kuantitas, animo masyarakat untuk menunaikan ibadah haji semakin tinggi, hal ini dapat dilihat dari jumlah kuota pemberangkatan pada setiap tahunnya jauh lebih sedikit dibanding jumlah jamaah yang mendaftar, sehingga adalah sangat wajar kalau sebagian masyarakat yang mendaftar tahun ini (2011) harus rela mengantri hingga tahun 2017 untuk diberangkatkan.

Sejumlah potensi yang dapat mendukung upaya peningkatan mutu penyelenggaraan ibadah haji, antara lain :

Pertama : Tersedianya peraturan perundang – undangan seperi UU Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagai penyempurnaan dari UU Nomor 17 Tahun 1999 yang menjadi acuan bagi upaya peningkatan kualitas pembinaan, pelayanan dan perlindungan bagi jamaah haji.

Kedua : Dana setoran awal BPIH dapat dimanfaatkan untuk mendukung penyelenggaraan haji, sehingga lebih bermanfaat bagi jamaah dan kesejateraan ummat. Untuk itu diperlukan undang – undang / aturan yang mengatur pengelolaan dana haji yang memberikan peluang investasi dan jaminan keuangan.

Ketiga : Tingginya peran masyarakat dalam penyelenggaraan ibadah haji yang direferentasikan dengan berkembangnya Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH). Dengan peran tersebut diharapkan terjadi peningkatan pelayanan bagi jamaah calon haji. Disamping itu juga terdapat peran serta Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas perjalanan ibadah umrah.

Keempat : Jaringan teknologi informasi yang berkembang pesat menjadi potensi penting dalam meningkatkan kualitas layanan penyelenggaraan ibadah haji. Perkembangan teknologi dan informasi dapat dimanfaatkan sebagai media efektif dan efesien dalam peningkatan kualitas berbagai bidang layanan.

Selain berbagai potensi yang dapat dimanfaatkan dibidang penyelenggaraan ibadah haji, juga terdapat beberapa permasalahan yang ditengarai dapat menghambat dibidang ini. Adapun permasalahan – permasalahan tersebut antara lain :

1.                  Belum tersedianya peraturan perundang – undangan yang merupakan turunan dan petunjuk teknis pelaksanaan UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji,  .

2.                  Masih lemahnya kontrol dan penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Prosedur Operasional (SPO), khususnya yang berkaitan dengan pelayanan pendaftaran, akomodasi, transportasi, katering, bimbingan, kesehatan, kemanan dan perlindungan jamaah.

3.                  Pola rekrutmen dan pelatihan petugas haji belum sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan pelayanan.

4.                  Pelayanan penyelenggaraan ibadah haji belum sepenuhnya memperhatikan profil jamaah yang beragam dari segi latar belakang usia, pendidikan, etnis, bahasa dan budaya.

e.    Tata Kelola Kepemerintahan

Penataan dan pengelolaan manajemen kepemerintahan yang bersih dan berwibawa, sebagaimana cita – cita besar Kementerian Agama adalah sangat penting untuk dilakukan dan harus dimulai dari sejak awal. Ikhtiar nyata menuju kearah pemerintahan yang baik (good goverment) perlu terus dikembangkan dari berbagai dimensi, mulai dari meningkatan kualitas sumber daya aparatur, pemenuhan kebutuhan dan media pendukung, penataan inprastruktur perkantoran dan ketersediaan sumber anggaran yang memadai. Berbagai potensi yang dapat dikembangkan dan dijadikan modal untuk menuju cita – cita mulia tersebut, antara lain : Komitmen aparatur Kementerian Agama untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efesien dan akuntable. Hal ini di tandai dengan keikutsertaan masyarakat dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintah dalam berbagai dimensi. Potensi lainnya yang tidak kalah besarnya adalah terdapatnya satuan kerja dan personil Kementerian Agama hingga ketingkat kecamatan (Kantor Urusan Agama) bahkan kepedesaan seperti tenaga penyuluh PNS, honorer maupun sukarela, menjadi satu kekuatan besar dan terpadu bagi institusi untuk menerapkan kebijakan sekaligus sebagai media transpormasi informasi yang dapat di andalkan, meningat peran dan fungsi satuan kerja tersebut, tidak hanya sebatas tugas pelayanan melainkan juga sebagai penghubung antara pemerintah dengan masyarakat.

Sisi lain dari potensi yang ada, terdapat sejumlah permasalahan yang membutuhkan penanganan cermat dan tepat. Adapun beberapa persalahan dalam hal ini, diantaranya :

Pertama : Dengan satuan kerja (satker) dilingkungan Kementarian Agama dapat menimbulkan kendala koordinasi, pengawasan dan pembenahan sistem pelayanan kepada masyarakat. Kendala tersebut bukan hanya berdampak pada pelaksanaan tugas dan fungsi internal Kementerian Agama melainkan pula dalam pengembangan jaringan kelembagaan dengan lembaga pemerintah terkait lainnya.

Kedua : Sumber daya aparatur yang relatif masih terbatas, baik dari segi jumlah maupun kualitas. Kondisi ini sangat mempengaruhi kinerja, terutama pada aspek pelayanan administrasi.

Ketiga : Masih rendahnya mutu pelaporan keuangan dan eksekusi anggaran, yang berdampak pada kulitas pelaporan yang kurang sempurna dan penumpukan program kerja di tengah dan akhir tahun anggaran.

Keempat : Belum tersedianya sistem manajemen informasi yang dapat mendukung tugas – tugas organisasi. Sistem yang dijalankan belum sepenuhnya mengacu pada upaya pelayanan informasi secara terpadu, menyeluruh sistemik dan berwawasan kedepan.

Kelima : Masih terdapatnya pelayanan dan mekanisme kerja yang belum memiliki Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Prosedur Operasional (SPO).